Usulan Pemerintah kepada DPR menaikan premi atau iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga dua kali lipat mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pro kontra pun terus bergulir
EDITOR.ID, Jakarta,- Pengamat Manajemen dan Kebijakan Publik Abadi Ika Setiawan mengusulkan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana menaikan iuran premi BPJS Kesehatan.
Jika pun dipaksakan ada kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Abadi mengingatkan pemerintah agar jumlahnya jangan sampai memberatkan masyarakat dan dilakukan secara bertahap.
“Kondisi ekonomi dan penghasilan masyarakat belakangan ini agak lesu, banyak beban biaya yang harus ditanggung, jangan sampai kita tambah beban rakyat. Kalaupun iuran harus dinaikkan jangan dilakukan secara drastis atau terlalu tinggi, jangan memberatkan rakyat yang sebagian besar masih hidup pas-pasan,” ujar Abadi Ika Setiawan di Jakarta, Minggu (8/9/2017).
Abadi khawatir nanti justru banyak yang tak mampu membayar iuran dan akhirnya keluar dari BPJS tanpa jaminan kesehatan. “Kalau dia tidak melanjutkan sebagai peserta BPJS, kasihan,” tambah akademisi ini.
Abadi tidak setuju jika alasan kenaikan iuran hanya untuk mengatasi persoalan defisit. Karena kenyataannya iuran BPJS Kesehatan pernah dinaikkan. Tapi faktanya BPJS tetap saja mengalami defisit kronis. Karena itu kenaikan ini justru memberatkan masyarakat sebagai peserta.
“Kenaikan iuran BPJS perlu dikaji lebih dalam, jangan sampai kenaikan itu memberatkan rakyat. Sebab masyarakat juga ingin melihat apa manfaatnya selama ini BPJS Kesehatan,†ujar praktisi bisnis ini
Abadi juga memberikan solusi untuk menutupi defisit BPJS, pemerintah bisa mengambil anggaran dengan menaikkan cukai rokok dan dari kompensasi biaya penggunaan sampah plastik.
Abadi menilai keliru jika dikatakan BPJS Kesehatan merugi karena iuran yang dibayar peserta nilainya kecil.
Menurut Abadi, defisit yang dialami BPJS disebabkan pengelolaan manajemen yang tidak transparan, tidak terdata secara otomatis dan online.
Salah satu akar masalah BPJS Kesehatan merugi karena tidak adanya standarisasi pelayanan kesehatan. “Salah satunya karena banyak rumah sakit rujukan yang melakukan pembohongan data,†kata Abadi.
Dalam kasus ini, untuk mendapatkan penggantian dari BPJS Kesehatan, banyak rumah sakit yang menaikkan kategori. Misalnya kategori D disebut C atau kategori B disebut A. Tujuan manipulasi ini adalah rumah sakit yang bersangkutan mendapat bayaran per unit yang lebih besar. “Perlunya audit lebih mendalam untuk menemukan jawaban itu,†katanya.