Sosoknya masih muda. Namun kajian dan analisa politiknya sangat tajam dan terukur. Dia adalah Stephanie Tangkilisan. Wanita muda jebolan studi Ilmu Politik dan Filsafat di University of Chicago pada 2014 ini belakangan sangat konsen mengikuti perkembangan Pemilihan Presiden 2019. Terutama terkait isu-isu demokratisasi, politik identitas dan berita bohong (hoaks)
Politik identitas dan hoaks sendiri menjadi dua konsen isu yang belakangan kerap dibahas jelang Pemilu 2019. Dua isu ini menjadi sentral perdebatan dan menggeser gagasan kampanye berbasis program.
Menurut pandangan Stephanie berbagai kekhawatiran pun muncul terkait kemampuan destruktif yang akan mungkin ditimbulkan dua isu ini terhadap kualitas demokrasi Indonesia.
“Pertanyaan-pertanyaan yang umumnya timbul adalah apakah isu politik identitas dan hoaks benar-benar akan menurunkan kualitas demokrasi Indonesia di Pemilu nanti,” ujarnya dalam sebuah diskusi politik yang menarik di sebuah kawasan hotel di Jakarta Selatan.
Pasalnya, lanjut Stephanie, politik identitas telah menjadi konsen isu yang cukup lama masuk dalam perdebatan politik elektoral, bahkan telah muncul sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat (AS).
“Sementara, hoaks sebagai propaganda politik telah menjadi bagian dari kampanye elektoral sejak Pemilu pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1955,” kata peraih gelar Master dengan tesisnya tentang militer Indonesia.
Lebih jauh wanita yang mengawali karirnya sebagai wartawan The Jakarta Globe di usia 18 tahun ini mengungkapkan, jika dibandingkan dengan yang terjadi di AS, memang ada situasi yang kontras, di mana politik identitas di Indonesia cenderung dimaknai secara “berlebihan†serta dianggap berbahaya.
“Sementara di AS, politik identitas dianggap sebagai hal yang biasa dan menjadi makanan politik wajib yang dikonsumsi masyarakat bukan hanya saat Pemilu saja, tetapi juga dalam kehidupan setiap hari,” tutur wartawati yang diusia muda sukses dalam liputan tentang pengeboman Jakarta di tahun 2009 yang diterbitkan di halaman depan surat kabar The Jakarta Globe.
Menurut Stephanie, setidaknya ada beberapa variabel yang membuat kondisi pemaknaan politik identitas di Indonesia cenderung berbeda:
- Belum adanya gagasan yang kuat untuk menepis dan menetralisir politik identitas itu sendiri. Pancasila dan gagasan NKRI belum mampu memainkan perannya secara maksimal.
- Institusi negara dan penegak hukum belum punya sikap yang jelas dalam menghadapi isu politik identitas.
Belum adanya rasa empati sosial untuk menyelesaikan politik identitas secara adil dan berimbang.
- Masih kuatnya efek sejarah sejak era kolonial yang membuat pemisahan-pemisahan dalam struktur masyarakat.
- Konteks disparitas ekonomi-politik yang terjadi selama era Orde Baru yang menyebabkan politik identitas menjadi saluran aspirasi kesenjangan sosial.
“Oleh karena itu, dalam rangka memperingati hari jadi PinterPolitik.com, poin-poin tersebut akan menjadi intisari pembahasan sebagai diskursus utama jelang Pemilu 2019,” tutur jurnalis dan pembuat film dokumenter yang lahir di Indonesia yang saat ini menetap di New York ini
Stephanie pun mengundang para pelaku media untuk ikut membahas dinamika politik tersebut yang oleh banyak pihak dianggap meresahkan masyarakat banyak dan yang seharusnya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan.
Sebelum memutuskan terjun di dunia jurnalistik Amerika Serikat, sosok Stephanie adalah tokoh yang ikut mendirikan portal berita politik analisis yang bernama PinterPolitik.com yang saat ini telah menginjak tahun keduanya.
Platform ini sudah diikuti oleh lebih dari 197.000 pengguna di Facebook, 91.000 di Instagram dan 4.500 di Twitter
Selama dua tahun belakangan ini, Stephanie menjalani pendidikan dan karir di Amerika Serikat sebagai seorang jurnalis.
Pada proyek pertamanya Stephanie berhasil memenangkan Hibah Keadilan Pidana Proyek Vital, yang telah mendanai pembuat film multi-pemenang penghargaan Oscar.
Filmnya juga didukung oleh The Joyce A. de Groot Memorial Fund, The Patsy Pulitzer Preston Fund, Michael dan Ramelle Pulitzer, serta The Charina Endowment
Karyanya juga didukung secara finansial oleh Women Makes Movies, sebuah organisasi nirlaba selektif berbasis di New York yang mendukung pembuat film wanita dan memiliki banyak pemenang Emmy dan Oscar di daftar nama mereka.
Sejak karyanya didanai oleh Women Makes Movie, Stephanie berkesempatan untuk memproduksi film bersama pemenang multi-Emmy, Jeff Newton, yang juga disusun bersama dengan komposer pemenang Sundance, Troy Herrion.
Festival filmnya yang saat ini sedang dirilisnya, diperkirakan akan berlangsung tahun depan, serta akan mulai dikampanyekan oleh berbagai komunitas di New York dan festival di seluruh Amerika Serikat.
Karya-karyanya juga akan didistribusikan oleh Omidyar Network yang didanai The Intercept (tempat Allan Nairn menulis) dan First Look Media, yang bekerja sama dengannya untuk meluncurkan 5 bagian seri Netflix tentang penghapusan geng terbesar dalam sejarah kota New York.
Sebelumnya Stephanie juga telah berhasil membuat Dialogika Podcast, sebuah podcast dalam bahasa Inggris yang pertama dan satu-satunya di Indonesia tentang politik dan kebijakan publik yang dibuat oleh orang Indonesia. Podcast itu sekarang sudah berisi 60 episode, dengan lebih dari 30.000 topik di dalamnya.
Stephanie yang sampai hari ini konsisten dalam bidang jurnalistik mengaku mendapat motivasi dari awal karirnya saat ia bergabung dengan The Jakarta Globe saat berusia 18 tahun. Di usia yang sangat muda itu, Stephanie berhasil membuat laporan tentang pengeboman Jakarta di tahun 2009 yang diterbitkan di halaman depan surat kabar tersebut.
Setelah itu, Stephanie melanjutkan studi Ilmu Politik dan Filsafat di University of Chicago dan lulus pada tahun 2014. Selama studi di University of Chicago, ia mempresentasikan tesisnya tentang militer Indonesia.
Tesis ini dipilih menjadi satu-satunya makalah sarjana yang dipresentasikan pada konferensi Yale’s Northeast Biannual Indonesia. Fokus kajiannya saat itu adalah tentang genosida dan keterlibatan militer dalam memicu kekerasan.
Stephanie kemudian melanjutkan pendidikannya di Columbia Journalism School dan mendapatkan gelar M.S. dengan spesialisasi di bidang dokumenter. (Edi Winarto)