Oleh : Andi Salim
Penulis Ketua Toleransi Indonesia
EDITOR.ID, Jakarta,- Banyak diantara kita sadar atau tidak, terkadang mengeluarkan nasehat, pendapat pribadi atau pandangan yang kita anggap itu suatu kebenaran. Padahal sebenarnya kebohongan atau sedang memperbodoh orang lain.
Ia anggap itu sebuah kebenaran namun justru kurang pas bagi orang lain yang mendengarnya, bahkan sedikit terkesan aneh untuk diterima publik atau setidaknya lawan bicara yang dihadapinya saat itu.
Kenapa demikian, serta apa yang menyebabkan hal itu terjadi tentu harus dijawab dan dimengerti oleh karena setiap orang memang memerlukan orang lain untuk mendapatkan penilaian atas dirinya sendiri sekalipun pendapat yang datang tersebut menyengat telinga pendengarnya. Akan tetapi upaya memperoleh perbaikan diri tentu menjadi ikhtiar demi meluruskanya.
Sering dari seseorang menjadikan asumsi sebagai landasan berfikirnya, dimana makna asumsi atau dugaan itu untuk digunakannya sebagai dasar berpikir yang dianggap benar.
Jika seseorang tidak percaya kepada sesuatu yang dilihatnya sebagai fakta yang tidak sesuai sebagaimana yang dipikirkannya maka asumsinya akan menjadi lemah.
Namun sebaliknya, jika orang tersebut mendapati suatu peristiwa sesuai sebagaimana yang dipikirkannya maka tentu saja hal itu memperkuat asumsinya.
Tanpa menyandingkannya kepada fakta-fakta lain yang terkait sebagai sandaran berbeda atau setidaknya dibenarkan secara umum, seseorang dengan mudahnya menentukan prinsipnya.
Pengetahuan merupakan berbagai informasi yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Namun pengetahuan memang dapat saja muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali kejadian tertentu walau belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Pengetahuan bersifat informasi yang dapat saja dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi yang melekat pada benak seseorang, sehingga orang tersebut memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu hal sebagai hasil pengamatan atas suatu pola.
Manakala informasi dan data yang menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan seseorang kepada apa yang semestinya dipahami secara baik.
Disinilah masyarakat harus memahami bahwa pengetahuan dan informasi merupakan dua hal yang berbeda sifatnya. Sebab bagaimana pun, informasi belum dapat disimpulkan sebagai pengetahuan oleh karena posisinya hanya sekedar berlandaskan kejadian dan fakta-fakta tertentu yang belum bisa diambil kesimpulan yang berkedudukan sebagai pengetahuan.
Hal ini agar tidak memberikan kekacauan kepada orang lain dan dirinya sendiri bila yang bersangkutan menyampaikan pandangan atau pendapatnya kepada khalayak umum terhadap sesuatu hal. Sehingga apa yang disampaikan justru tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah pengetahuan yang sesungguhnya berpijak pada kebenaran itu sendiri.
Terhadap orang atau pihak-pihak yang secara spontanitas memberikan arahan, pandangan, pendapat atau sifat-sifat lain yang dengan istilah saat ini sering disebut sebagai pencerahan, maka sepatutnya seseorang atau masyarakat dan pendengarnya menjadi waspada.
Atau sepatutnya pula menyandingkannya dengan hal-hal lain yang bersifat pengetahuan.
Sebab jika yang disampaikan oleh pembicara tersebut hanya sebatas informasi, maka proses penyaringan informasi tersebut akan menjadikan kedudukannya tetap sebagai informasi semata.
Sebab bagaimana pun sesuatu hal itu disampaikan atau diungkapkan, sesungguhnya pengetahuan itu akan tetap berdiri dan berpijak pada aspek kebenaran.
Kedudukan pengetahuan meliputi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas bersumber dan berpijak pada kebenaran yang berguna bagi umat manusia.
Ilmu pengetahuan pun diperoleh melalui penelitian dan pengamatan yang cermat melalui panca indera serta penalaran akal budi manusia yang disusun untuk dan demi menjelaskan suatu fakta atau keadaan guna merangsang pikiran dan keingintahuan manusia.
Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan kecerdasan dan nalar berfikirnya untuk mengenali obyek atau peristiwa tertentu yang dapat saja peristiwa atau keadaan itu belum pernah dilihat atau dirasakan seseorang sebelumnya.
Berbagai macam pengetahuan dan kepercayaan sering kita temui di kalangan masyarakat. Mulai dari pengetahuan tentang mitos, tahayul, kepercayaan adat istiadat hingga pengetahuan ilmiah.
Namun amat disayangkan, bahwa pengetahuan – pengetahuan semacam ini pun tidak jarang digunakan sebagai bentuk penyimpangan dari asumsi-asumsi yang sengaja ditanamkan kepada masyarakat dalam upaya menyebarkan informasi yang salah dan menyesatkan.
Sehingga tujuan pengetahuan yang sesungguhnya demi menanamkan objektifitas berfikir secara benar, kini digunakan sebagai cara untuk menarik simpatik atau bentuk-bentuk lain guna menggiring opini masyarakat akan sesuatu hal, apalagi kalau bukan politisasi yang menyesatkan.
Apalagi saat ini pun disadari bahwa banyak penceramah dan para mubaligh yang tidak memiliki kecukupan pengetahuan khususnya dibidang agama, namun secara sembarangan menyampaikan pandangannya sekaligus membumbuinya dengan opini, asumsi dan pendapat pribadinya yang tidak didasari pada konektifitas akan kebenaran yang lebih tinggi atau setidaknya terkait dengan hal-hal kebaikan bagi budaya kemanusiaan.
Sehingga dengan gampangnya menimbulkan pernyataan yang sesungguhnya menjadi perdebatan publik antara tujuan dari apa yang disampaikan dengan fakta sejarah yang ingin dihilangkan melalui cara-cara disampaikannya, termasuk pernyataan ustadz Khalid Basalamah beberapa waktu yang lalu. (tim)