EDITOR.ID, Jakarta,- Gerakan politik tagar #2019GantiPresiden bukan suatu pelanggaran hukum UU Pemilu dan tindak pidana. Pasalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah menyampaikan bahwa hastag itu bukan suatu pelanggaran pemilu dan bukan merupakan suatu kampanye. Pengguliran hastag #2019GantiPresiden itu merupakan hak konstitusional warga negara.
Demikian pendapat Pakar hukum Dr Ahmad Sudiro menanggapi polemik hastag #2019GantiPresiden yang mendapat penolakan di hampir seluruh daerah.
Pengguliran tanda pagar dan aksi #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi, menurut ahli hukum pidana ini, sama-sama konstitusional. Negara termasuk polisi, wajib menjamin kemerdekaan berpendapat.
Baru menjadi masalah hukum jika mengumpulkan massa ada keributan. Jika ada dua kelompok bertentangan di lapangan, polisi wajib mengatur dan menjamin keamanan kedua kelompok itu.
“Yang tidak boleh itu manakala dalam dalam pengumpulan massa kemudian ada keributan yang menimbulkan tindakan-tindakan melanggar hukum, ujar pria yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara ini di Jakarta, Selasa (11/9/2018)
Terkait situasi keamanan itu menjadi tugas dan tanggung jawab kepolisian. Prinsipnya tegas, polisi harus netral dan tidak boleh memihak.
Ahmad Sudiro mempersilahkan kelompok #2019GantiPresiden atau #2019JokowiTetapPresiden untuk menggelar deklarasi asal melalui prosedur yang diatur.
“Sekarang ini banyak hastag, ada ganti Presiden, ada juga yang tetap Jokowi, Jokowi 2 periode dan sebagainya. Sebenarnya mereka silahkan saja untuk deklarasi dan sebagainya. Mengumpulkan orang dijamin konstitusi, baik yang ganti Presiden maupun yang tetap Jokowi, asal melalui prosedur yang diatur,” katanya.
Namun, lanjut Ahmad Sudiro, jika ada tindakan destruktif dan keributan-keributan itu masuk ke ranah pelanggaran hukum. Soal provokasi, Ahmad melihat hal tersebut merupakan hal biasa.
Ahmad tidak sependapat hastag dan aksi Ganti Presiden dikategorikan sebagai tindakan makar. “Saya tidak sependapat. Hastag dan Aksi Ganti Presiden atau tetap Jokowi 2 periode bukan tindakan makar, karena belum ada ada unsur yang memenuhi,” paparnya.
Menurut Ahmad Sudiro, kategori makar itu jika sudah melakukan tindakan aktif untuk menggulingkan satu pemerintahan yang sah dengan cara-cara inkonstitusional.
Ahmad Sudiro juga menyayangkan jika aksi #2019GantiPresiden mengalami persekusi. Menurutnya tindakan persekusi tersebut sudah dikategorikan tindak pidana umum. “Itu masuk delik umum, bukan delik aduan. Aparat keamanan seharusnya sudah bisa melakukan tindakan. Tidak perlu menunggu orang yang dipersekusi itu melapor,” katanya.
Menurut Ahmad Sudiro polisi bisa dianggap melakukan pembiaran ketika membiarkan satu kelompok melakukan persekusi. “Dan itu tidak boleh terjadi. Apalagi dilakukan aparat, karena tugas mereka itu seharusnya mengamankan. Kalau terjadi persekusi dan aparat mengetahuinya harusnya aparat sudah bisa melakukan tindakan hukum terhadap orang yang melakukan persekusi,” katanya.
Menurut pendapat Ahmad Sudiro, tindakan pejabat intelijen yang melakukan tugas polisi dalam pelarangan Neno Warisman di Riau itu sebagai tidak lazim. “Seharusnya tidak seperti itu, intel itu aktor di belakang layar yang tidak boleh muncul. Intel itu memberikan umpan, informasi, semua data yang ada di lapangan. Yang menjadi corongnya kepolisian,” tuturnya.
Tindakan intelijen dalam kasus penanganan aksi Neno Warisman itu terkait kesalahan SOP mereka. Mana yang seharusnya ada di garda terdepan. “Memang tidak umum Kabinda (Riau) ada di depan karena yang ada di posisi itu harusnya Kapolres atau Kapolda. Agak aneh juga di Riau,” kata Sudiro.
“Namanya intel itu kan silent operation. Cuma kadang-kadang intel Indonesia itu lucu. Dulu ada yang dapat SK malah di publish di medsos. (tim)