EDITOR.ID, Jakarta,- Pengamat hukum Universitas Tarumanegara Dr Urbanisasi mengatakan, kasus korupsi berjamaah yang sangat massif terjadi di lembaga legislatif belakangan ini telah mendegradasi tingkat kepercayaan publik terhadap politik dan wakil rakyat pada titik paling nadir.
Terakhir kasus korupsi berjamaah yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatera Utara dan DPRD Tingkat II Kota Malang. Bahkan di Kota Malang dari 45 anggota dewan, 41 anggota terseret kasus korupsi.
Ujung-ujungnya rakyat sudah apolitis terhadap kontestasi Pemilihan legislatif.
“Kasus-kasus korupsi yang dipertontonkan anggota dewan membuat rakyat sudah tidak respek lagi dengan wakil rakyat kita, harus dicarikan jalan keluar agar rakyat kembali menghargai lembaga ini,” kata Urbanisasi di Jakarta, Selasa (4/9/2018)
Untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap calon legislatif, menurut Urbanisasi diperlukan seleksi politik berdasarkan norma etika dan mendeteksi jejak rekam caleg.
“Sehingga rakyat diberikan pilihan calon wakil rakyat yang berintegritas dan bersih secara jejak rekam korupsi,” tutur pria yang sehari-hari berprofesi sebagai lawyer ini.
Oleh karena itu, lanjut Urbanisasi, salah satu sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak meloloskan calon legislatif yang pernah menjadi narapidana korupsi, narkoba dan kejahatan asusila, bisa menjadi sebuah solusi ditengah merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif dan politisi.
“Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang mensyaratkan Calon Legislatif harus bebas dari jejak rekam masa lalu dalam kejahatan korupsi, kejahatan narkoba dan asusila merupakan itikad baik (goodwill) dari lembaga ini untuk menseleksi pilihan rakyat yang lebih berintegritas,” katanya.
Oleh karena itu PKPU yang mengatur syarat bagi caleg bebas dari kejahatan korupsi, narkoba dan asusila, bukanlah sebuah aturan yang bertentangan dengan undang-undang Pemilu maupun undang-undang lainnya.
“Namun PKPU ini bersifat melengkapi frasa yang belum diatur dalam UU, yakni integritas calon wakil rakyat,” papar Doktor dari Universitas Hasanudin Makassar ini.
Menurut Urbanisasi, PKPU yang melarang napi koruptor menjadi caleg adalah niat baik dari KPU untuk menseleksi para caleg calon pilihan rakyat ini kepada personifikasi yang memang minimal bersih dari catatan kejahatan korupsi, narkoba dan asusila.
“Ini bagian dari tujuan baik KPU menghadirkan caleg berkualitas, maka menurut saya niat baik PKPU itu tidak bertentangan dengan UU meski belum diatur dalam UU, namun sifatnya melengkapi dan semangatnya sama dengan UU, menciptakan wakil rakyat yang amanah,” katanya.
Menurut Urban, setiap kebijakan atau penerbitan peraturan yang tujuannya positif, tidak bertentangan dengan semangat UU, maka Peraturan tersebut bisa diterapkan sebagai pengisi kekosongan hukum akibat tuntutan publik.
“Publik saat ini menuntut wakil rakyat yang bersih dan amanah, bagaimana sejak dini KPU bisa membantu mewujudkan tuntutan publik tersebut? ya tentu dengan menggunakan kewenangannya menambah persyaratan tertentu yang melindungi kepentingan publik, ini sah secara hukum, apalagi kebijakan itu untuk mensterilkan pilihan rakyat dari caleg bermasa lalu tidak baik,” pungkasnya. (edo)