EDITOR.ID, Sejauh mata memandang, sejauh itu pula cakrawala Indonesia membentang. Jauh dari gambaran imaji tentang bangsa yang sejahtera dan hidup sentosa, Indonesia tampil dengan jutaan fakta tentang rakyat yang sengsara, masyarakat yang terlantar di pojokan kolong Jakarta, hingga potret kesenjangan yang niscaya.
Yang kaya semakin kaya, yang miskin bahkan tak sanggup bermimpi jadi kaya, begitulah Indonesia. Problematika yang kompleks membuat Indonesia semakin kehilangan mimpinya menjadi sebuah poros digdaya, dan begitupun masyarakatnya yang sudah lupa tentang arti ?Indonesia?.
Jengah dengan kemiskinan, kecewa akan keadaan, dan gelisah akan kesenjangan. Begitulah kalimat yang bisa mendeskripsikan Yordan M. Batara-Goa.
Aktif sebagai anggota DPRD provinsi Jawa Timur di Komisi A, Yordan punya cerita tersendiri tentang problematika bangsa hari ini.
Lahir dari keluarga multi-etnis dan multireligi di Surabaya, Yordan punya cara pandang tersendiri dalam melihat problematika Indonesia.
Yordan bisa dibilang adalah seorang yang ?gandrung? dan sering tidak bisa berdiam jika melihat intoleransi dan diskriminasi terjadi di sekitarnya. Yordan sadar secara penuh bahwa masalah Indonesia muncul bukan karean tanpa sebab, namun karena adanya dekadensi pada nalar pemersatu yang paling monumental di Indonesia, Nasionalisme.
Anggota DPRD yang pernah aktif pada organisasi GMKI tersebut beranggapan bahwa Nasionalisme adalah ?senjata? utama untuk membangun nalar bangsa. Nasionalisme memiliki peran signifikan dalam menguatkan kesadaran negara, namun hari ini, di Indonesia, malah memudar dan hanya dianggap sebagai perkamen usang tanpa tujuan.
Yordan secara khusus menyoroti Pendidikan sebagai salah satu tonggak utama berdirinya Nasionalisme, dan tidak lupa memberikan kritik ? kritik substansial pada jalannya pendidikan di Indonesia.
Menjelang momen kemerdekaan, kali ini Editor.id melakukan wawancara eksklusif bersama dengan Yordan, sekaligus mencari akar dari lemahnya nasionalisme pada bangsa ini.
Berikut perbincangan Editor.id dengan Yordan M. Batara-Goa:
Editor.id: Karena nasionalisme adalah konsep yang abstrak dan memiliki banyak definisi, bang Yordan mengartikan nasionalisme sebagai apa?.
Yordan: Kalau saya memang suka memandang nasionalisme dengan gaya berpikirnya bung Karno, terlebih pada pidatonya pada saat 1 Juni 1945. Pada saat itu ada pilihan, apakah bangsa ini apakah akan didirikan berdasarkan kelompok tertentu, atau memang untuk seluruh bangsa yang mendaku Indonesia.
Dan akhirnya bung Karno memilih untuk mendirikan bangsa atas keterbedaan. Namun ada yang ?sering? terlupa, karena kebanyakan melihat Nasionalisme didasarkan pada kecintaan terhadap bangsa sendiri, maka banyak orang sering lupa tentang bagaimana ?mensejahterakan? bangsa sendiri.
Maka dari itu, bung Karno memberikan ungkapan bahwa nasionalisme Indonesia itu ?semua untuk semua?, bukan ?satu untuk semua? atau ?semua untuk satu?.
Maka, dari sini saya mengartikan nasionalisme itu rasa senasib dan sepenanggungan untuk mensejahterakan seluruh bangsa, terutama jika melihat adanya kesenjangan dan ketimpangan.
Editor.id: Karena setiap rezim memiliki karakter yang berbeda dalam menerapkan nasionalisme, terlebih dalam penyebaran diskursus nasionalitas, menurut bang Yordan Nasionalisme bisa Indonesia bisa diberi pembabakan seperti apa?
Yordan: Saya tidak begitu mencermati secara khusus, namun kelihatan bahwa pembabakan seperti ini bisa dilihat dari era kepemimpinan di Indonesia.
Sebelum era orde lama, atau tepatnya sebelum kemerdekaan, Nasionalisme indonesia belum ada, terlihat dari belum adanya kesadaran bersama tentang satu bangsa. Lalu saya melihat Nasionalisme yang paling murni muncul pada saat era orde lama, karena masih awal terbentuk.
Lalu saya melihat Nasionalisme semakin mundur ketika Orde Baru, karena pada saat itu paham mengenai Nasionalisme diarahkan untuk melihat bahwa ?negara? adalah ?segalanya?.
Lalu hari ini, yang sering disebut sebagai Post-Soeharto era, saya melihat konsepsi nasionalisme semakin abstrak, dan semakin ?menjauh? dari ide awal terbentuknya.
Contohnya adalah preferensi dari masyarakat sekarang yang lebih memilih produk luar daripada produk dalam negri, termasuk dalam kesadaran tentang ?nilai? produk, seperti ?KFC? lebih baik daripada ?penyetan?, padahal rasanya tidak kalah juga.
Editor.id: Sejauh ini, meskipun ?agustusan? dirayakan, apakah menurut bang Yordan nasionalisme ini sudah ?membumi? di wilayah nalar masyarakat Indonesia, termasuk juga nasionalisme yang hanya sering muncul menjadi anti diskursus dari terorisme atau Counter-wacana dari kelompok separatis?
Yordan: Menurut saya, meskipun agustusan dirayakan, itu semua bentuk agenda yang ?hanya sebatas itu?.
Maksudnya, akhirnya nasionalisme hanya dipahami sebatas mengibarkan bendera, ikut lomba ?agustusan?, dan lain sebagainya. Dan juga, akhirnya nasionalisme ini kehilangan bentuk dan wacana yang tersebar hanya sampai di wilayah itu-itu saja.
Editor.id: Karena Informasi sudah menyebar secara general melalui teknologi, termasuk juga informasi mengenai ideologi dan Lifestyle, jadi bagaimana posisi nasionalisme hari ini yang dibenturkan dengan globalisme dan bukan ?menu favorit? bagi generasi muda?
Yordan: Nah, posisi nasionalisme hari ini memang kalah ketika dibentur Globalitas, dan menurut saya ini adalah kesalahan dari pendidikan kita. Apa jadinya anak ? anak sekarang, adalah cerminan langsung dari pendidikan hari ini, dan anak ? anak sekarang lebih memilih untuk menggunakan teknologi bukan untuk melihat informasi mengenai kesenjangan, atau kemiskinan yang ada, namun untuk bersenang ? senang.
Dan harusnya teknologi jadi alat pendidikan paling utama untuk melihat tentang belahan negri yang masih belum ?maju?. Fungsinya adalah untuk membentuk kesadaran pada anak ? anak muda tentang bangsa kita yang sedang ?tidak baik ? baik saja?.
Saya menyoroti bahwa kesadaran itu penting, dan kesadaran itu harus dibangun sedari kecil, dan begitupun juga dikenalkan mengenai realitas yang ada seperti perbedaan, kemiskinan, dan ketidaksejahteraan di berbagai wilayah.
Editor.id: Lalu solusinya seperti apa bang?
Yordan: Yang paling penting itu membentuk visi bersama pada basis pendidikan. Contoh, ketika kita bilang ?Sama rata sama rasa?, orang ? orang sudah memberi cap bahwa ini ?PKI?, padahal cita cita Soekarno itu adalah semuanya ?sejahtera?, dan berkeadilan sosial secara ?merata?.
Dan bisa dicoba dengan metode seperti ?kamp? bersama, namun pesertanya harus dari berbagai etnis dan status sosial berbeda.
Editor.id: Karena nasionalisme ini belum membumi, dan begitupun pendidikan yang belum memadai, bagaimana menurut bang Yordan tentang Turbulensi politik yang muncul dari partai ? partai yang ?tidak terlalu? nasionalis?
Yordan: Kalau kita menelaah dari Benedict Anderson, bangsa Indonesia ini masih belum menjadi Indonesia, namun masih ?proses? menjadi Indonesia, dan sebenarnya ini melemahkan nasionalisme.
Karena tidak seharusnya seorang bangsa Indonesia memberikan preferensi politik dengan melihat etnis, ras, agama, maupun basis ekonomi, namun harusnya melihat secara langsung bagaimana karakter seseorang tersebut, apakah nasionalis atau bukan?
Editor.id : Menurut Bang Yordan, aparat-aparat ideologis negara yang menelurkan wacana tentang pembumian nasionalisme ini sudah efektif atau belum?.
Yordan : Salah satu aparat ideologis yang berperan adalah media, dan menurut saya media belum bisa memberikan jawaban yang baik bagi kurangnya nasionalisme di Indonesia, dan saya juga berharap BPIP bisa menunjukkan ?taring? nya dengan merevitalisasi penyebaran nasionalisme dengan ?gaya? yang lebih disukai.
Sekaligus, saya menyorot langsung bahwa perlu adanya perubahan skema ?doktrinasi?, karena pada dasarnya, nasionalisme itu partisipatif, dan harusnya disampaikan dengan pengajaran lebih ?kekinian?.
Ditambah lagi, desain otonomi daerah ?membahayakan? posisi nasionalisme. Karena ?jawasentrisme? membuat pemahaman masyarakat bahwa ?indonesia adalah jawa?.
Seperti Blueprint dari Indonesia yang melihat negara ? negara lain. Contohnya adalah ketika negara lain membangun satu wilayah, maka wilayah ? wilayah lain akan berkembang, namun di Indonesia tidak bisa, karena mobilitas di Indionesia terhambat karena faktor geografis.
Nah, bagi saya, pemindahan ibukota adalah salah satu langkah terobosan untuk mengikis jawasentrisme, terlebih untuk mengembangkan wilayah ? wilayah lain.
Program pembangunan seperti wilayah tol laut maupun pembangunan daerah terluar Indonesia ini sangat membantu mengurangi disparitas harga.