Oleh : Wahyu Atmadji
Penulis Wartawan Senior dan Penulis Buku
Selama menyangkut keselamatan orang banyak tak ada kata lain selain mendukung. Dukungan bahkan dari oposisi, atau kalangan LSM paling anti-pemerintah sekalipun. Seperti ditunjukkan hampir di semua negara Eropa, AS, Australia, hingga New Zaeland.
Satu untuk semua, semua untuk satu. Mungkin begitu semangatnya dalam memerangi Covid19.
Lantas bagaimana di negeri kita ?
Awalnya ada sebagian orang tak percaya virus itu ada. Bahkan menuduh media sebagai tukang kompor dan bikin horor. Kemudian ada yang menyebut, virus dibuat baron globalis untuk menciptakan ketergantungan manusia, yang ujung-ujungnya strategi neo-kapitalis menciptakan “mesin penyedot” uang baru.
Ketika akhirnya Covid meledak kaum ini masih juga enggan mengikuti prokes. Mereka menganggap terpapar Covid19 adalah taqdir dariNya. Mereka yang terkena diyakini akan terdiskon dosanya. Jadi pasrah saja, hidup jalan terus, tak perlu prokes dan tetek bengek lainnya.
Apakah virus itu jadi-jadian, rekayasa atau bukan, dimanipulasi atau tidak, bukan saatnya dimasalahkan saat ini. Kita hanya obyek penderita, yang sekaligus menjadi saksi banyak korban di mana-mana.
Ini yang menjadikannya genting dibanding berdebat berdasar asumsi dan bukan data valid. Prokes yang diterapkan saat ini pun sudah tegas menyesuaikan dengan tabiat dan pola penularan virus.
Nyatanya rumah sakit kewalahan maka banyak yang positif atau orang tanpa gangguan (OTG) yang terpaksa diminta Isoman di rumah.
Kemarin, saat salat Idula Adha, ada masjid desa yang nyata-nyata didatangi orang positip yang tengah Isoman.
“Fatal attraction”, atraksi fatal itu, dilakukannya dengan berbaur seperti layaknya orang sehat, bahkan beribadah tanpa masker. Orang tak berani menegur karena ia tokoh berpendidikan dan terpandang. Yang dilakukan sekedar menyingkir. Menjauh cari aman.
Pilihan tak mempedulikan prokes, atas alasan apapun, silakan saja selama tokoh ini hidup sendiri tak berinteraksi dengan siapapun. Ia agaknya lupa sisi kemanusiaannya dengan tidak sedikitpun menghomati.
Apalagi menghargai, semua orang yang sedemikian rupa menjaga kesehatannya. Ia tak berempati pada pedagang kaki lima dan mereka yang menutup usahanya atau di-PHK karena Covid berkepanjangan.
Memperlakukan orang seperti ini agaknya kita perlu meniru India. Petugas langsung menghajar tanpa pandang bulu. Membiarkan pribadi seperti ini, apalagi dilakukan sekelompok orang di mana-mana, sama saja kita tak menolak diajak bunuh diri massal.
Patut dipertanyakan, melonjaknya kasus baru Covid19 belakangan ini, jangan-jangan karena adanya banyak orang melakukan “fatal attraction” di mana-mana. Walohualam bisowab… (tim)