EDITOR.ID ?Jember, Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Jember telah usai, dimana pasangan calon Hendy Siswanto ? M. Balya Firjaun Barlaman akhirnya memenangkan Pilkada Jember 2020 dengan memperoleh suara 489.794 (46,60%) dan dilantik pada tanggal 26 Februari 2021.
Gebrakan awal setelah 15 hari dilantik sebagai Bupati cukup berani dan kontroversial, tepatnya pada tanggal 12 Maret 2021 Hendy Siswanto ?Mendemisionerkan? seluruh jabatan yang ada di Kabupaten Jember, seluruh pejabat yang ada di Kabupaten Jember dijadikan staff biasa tanpa ada jabatan definitif, otomatis sejak saat itu tidak ada satupun pejabat eselon II, III dan IV yang definitif.
Menurut Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Jember, dengan dalih bagian upaya Pemerintah Daerah untuk mempercepat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jember tahun anggaran 2021, sebanyak 631 jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) pejabat yang awalnya definitif di eselon I, II dan VI dijadikan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt), kecuali Sekretaris Daerah (Sekda) yang merupakan pejabat tertinggi ditetapkan sebagai Penjabat (Pj) yang kewenangannya lebih luas daripada Plt, namun entah kenapa beberapa hari kemudian Jabatan Sekda berubah kembali menjadi Pejabat Definitif.
Penetapan seluruh pejabat sebagai Plt itu juga diklaim sebagai cara untuk menyusun dan mempersiapkan pejabat definitif setelah tiga bulan masa jabatan Plt berakhir, bahkan Hendy Siswanto ?berikrar? akan meminta izin kepada Kementerian Dalam Negeri untuk ?mendefinitifkan? para pejabat yang menduduki jabatan Plt.
Dan dalam kurun tiga bulan menjabat akan tetap mendapatkan penilaian kinerja dengan tolak ukur profesionalisme dan loyalitas, sedangkan pejabat eselon II nanti akan ada assessment (penilaian) khusus yang di istilahkan open bidding.
Namun, menurut Bupati LIRA Jember, Drs H. Achmad Sudiyono, SH Msi , pada kenyataannya, tanggal 17 Juni 2021 Aparatur Sipil Negara (ASN) eselon II, III, dan IV di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Jember, statusnya kembali menjadi Plt di masing-masing posisinya, alias diperpanjang masa jabatannya, karena belum adanya surat dan izin tertulis dari Kemendagri, yang ada hanyalah surat dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mendapatkan izin definitif, namun tanpa izin dari Kemendagri masih belum bisa dilaksanakan.
Hal ini tentunya tidak sesuai dengan dengan sesumbar Hendy Siswanto yang akan mendefinitifkan setelah masa Plt habis berlaku, namun yang menjadi pertanyaan penting adalah. ?apakah saat melakukan penetapan seluruh pejabat sebagai Plt sudah ada ijin dari Mendagri ??
Jika melihat permasalahan tersebut diatas, dipandang dalam konteks normal, baik secara iklim dan budaya birokrasi, langkah ?mendemisionerkan? pejabat definitif menjadi Plt bukan langkah tepat, karena langkah kontroversial yang dilakukan oleh Hendy Siswanto berpotensi telah melakukan tindakan pelanggaran UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Khususnya, pada Pasal 71 Ayat 2 UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang berbunyi: ?Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat Persetujuan tertulis dari Menteri?, dan hal ini bisa dikategorikan sebagai bagian dari pelanggaran pemilu, yang mengarah pada sanksi pidana pemilu.
Jika kedapatan melanggar aturan tersebut, maka sanksinya bisa dibatalkan pencalonannya oleh KPU Kabupaten/kota, selain itu, hukuman lain adalah sanksi pidana selama sebulan dan paling lama enam bulan atau denda Rp 600.000 sampai Rp. 6.000.000, sebagaiman termuat dalam Pasal 190 UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Idealnya jika terdapat kekosongan jabatan, petahana cukup menunjuk Plt, namun tetap harus dipastikan, pejabat sebelumnya benar-benar sudah habis masa kerjanya (pensiun) dan kosong jabatannya, kalaupun terpaksa dilakukan mutasi harus persetujuan dari Mendagri.
Potensi Pelanggaran UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dikuatkan oleh Surat Edaran (SE) Mendagri No. 820/6923/SJ Tentang Larangan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Yang Menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020.
Menurut Achmad Sudiono, langkah yang dilakukan oleh Hendy Siswanto terlalu berani dengan menabrak rambu-rambu pada UU Pilkada yang dikuatkan oleh Surat Edaran (SE) Mendagri No. 820/6923/SJ Tentang Larangan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Yang Menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020, terutama pada poin Bupati atau Wali Kota yang akan melakukan penggantian jabatan dilingkungan pemerintahan daerah dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan Persetujuan tertulis dari Mendagri.
?Entah siapa pemberi saran dan pembisik di era rezim Hendy Siswanto agar melakukan langkah kotroversial tersebut yang bisa memicu polemik dan memunculkan ?kegalauan? di tubuh birokrasi di Kabupaten Jember akibat masih kentalnya euforia Pilkada 2020, bahkan dengan mendemisionerkan seluruh jabatan dengan memberi jabatan Plt kepada seluruh pejabat eselon II, III dan IV bisa berimplikasi pada resiko hukum?, katanya.
Selain itu menurut Achmad, dalam permasalahan penataan SDM ASN di Kabupaten Jember, juga berpotensi adanya pelanggaran terhadap UU No. 8/2015 tentang Perubahan Atas undang-Undang No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang.
Khususnya pasal 162 ayat 3 dinyatakan bahwa, gubernur, bupati, atau wali kota yang akan melakukan pergantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten atau kota dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan, kalaupun ingin melakukan pergantian/mutasi pejabat, kepala daerah harus memiliki izin dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
?Kondisi ini seperti menunjukkan adanya ?kegamangan? pada diri Hendy Siswanto karena merasa ada ?anak buahnya? yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misinya, sehingga diasumsikan untuk mendemisionerkan seluruh jabatan menjadi staff dan diangkat pejabat baru sebagai Plt?, terangnya
Lalu bagaimana dengan wewenang Plt terkait dengan alokasi anggaran?
?Harus diakui, di Kabupaten Jember, Pejabat dengan jabatan Plt, dengan mudah membuat kebijakan tanpa menyadari batasan terhadap posisinya yang mana hanya mengemban jabatan sementara, namun bergaya kerja seperti pejabat definitif yang digantinya, bahkan kerap kali melebih pendahulunya alias merasa sejajar tanpa ada batasan antara Plt dengan Pejabat Definitif?, ujarnya
Mengacu pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan ?Apabila pejabat definitif berhalangan menjalankan tugasnya, maka atasan pejabat pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, yaitu menunjuk Plh atau Plt untuk melaksanakan tugas?.
Perlu diketahui, Plh dan Plt merupakan pejabat yang melaksanakan tugas rutin berupa mandat yang diperoleh badan dan/atau pejabat pemerintahan apabila ditugaskan oleh badan dan/atau pemerintahan di atasnya dan merupakan pelaksanaan tugas rutin.
1.Pelaksana Harian (Plh) adalah pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara
2.Pelaksana Tugas (Plt) adalah pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
Jadi perbedaan mendasar keduanya adalah Plh melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara, sedangkan Plt melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap, dimana kewenangan Plh atau Plt adalah melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Karena menjalankan mandat, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1/SE/I/2021 tentang Kewenangan Plh dan Plt dalam Aspek Kepegawaian, yaitu :
1.Dalam menjalankan tugasnya Plh atau Plt tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
2.Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditunjuk sebagai Plh atau Plt tidak perlu dilantik atau diambil sumpahnya.
3.Penunjukan PNS sebagai Plh atau Plt tidak perlu ditetapkan dengan keputusan melainkan cukup dengan surat perintah dari pejabat pemerintahan lebih tinggi yang memberikan mandat.
4.Plh dan Plt bukan jabatan definitif, oleh karena itu PNS yang diperintahkan sebagai Plh atau Plt tidak diberikan tunjangan jabatan struktural, sehingga dalam surat perintah tidak perlu dicantumkan besarnya tunjangan jabatan.
5.Pengangkatan sebagai Plh atau Plt tidak boleh menyebabkan yang bersangkutan dibebaskan dari jabatan definitifnya, dan tunjangan jabatannya tetap dibayarkan sesuai dengan jabatan definitifnya.
6.PNS yang menduduki jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, atau jabatan pengawas hanya dapat ditunjuk sebagai Plh atau Plt dalam jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrator, atau jabatan pengawas yang sama atau setingkat lebih tinggi di lingkungan unit kerjanya.
7.PNS yang menduduki jabatan fungsional dapat ditunjuk sebagai Plh atau Plt dengan ketentuan Pejabat fungsional jenjang ahli utama dapat ditunjuk sebagai Plh atau Plt jabatan pimpinan tinggi atau jabatan administrator atau jabatan pengawas. Pejabat fungsional jenjang ahli madya dapat ditunjuk sebagai Plh atau Plt jabatan administrator atau jabatan pengawas. Pejabat fungsional jenjang ahli muda dan pertama dapat ditunjuk sebagai Plh atau Plt jabatan pengawas.
8.PNS yang ditunjuk sebagai Plt melaksanakan tugasnya untuk paling lama 3 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 bulan.
Sebagai catatan, yang dimaksud dengan ?keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis?, difahami sebagai keputusan dan/atau tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah (Pasal 14 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014).
Menurut Achmad, jika melihat posisi Plt sebagai pelaksana tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap, bisa dipahami jila tidak ada masalah apabila Plt yang melanjutkan anggaran/pekerjaan pejabat lama (definitif) yang kemudian menggunakan anggaran itu.
Namun yang perlu juga dipahami adalah, jabatan Plt tidak diperbolehkan membuat kebijakan baru dan menggunakan anggaran besar karena Plt hanyalah jabatan sementara sampai ada pejabat definitif, jadi tidak boleh mengambil kebijakan yang sifatnya strategis, termasuk kebijakan anggaran, selain itu jabatan Plt juga tidak diperbolehkan membuat kebijakan baru dan tidak boleh membuat anggaran baru (kecuali melanjutkan dari pejabat definitif).
Konteks yang harus diperhatikan dan dicermati menurut Achmad adalah, di Kabupaten Jember pada posisi pembahasan APBD 2021, semua yang terlibat dalam proses APBD 2021 mulai dari penyusunan KUA PPAS dan setelah ditetapkan untuk dibahas RKA OPD menjadi RAPBD merupakan sebuah kebijakan strategis yang terkait dengan anggaran, padahal dalam proses tersebut seluruh kepala OPD berstatus sebagai Plt yang tentunya memiliki kewenangan yang terbatas (tidak memiliki kewenangan) karena jabatan mandatory.
Achmad menguraikan bahwa berdasarkan dengan UU Administrasi Negara (UUAP) No 30 Tahun 2014, terdapat batasan-batasan untuk Plt yang diatur dalam pasal 34 ayat 2 (meskipun tidak begitu jelas), yaitu Plh dan Plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan peraturan perundang undangan, akan tetapi terdapat ketentuan jelas yang bisa dijadikan pedoman sebagaimana SE Mendagri yaitu SE BKN No. 1/SE/1/2021.
Ketentuan itu bertujuan untuk mengindari kesewenangan pemimpin yang baru dilantik, potensi konflik kepentingan dalam mutasi tersebut dapat diminimalisasi dan dasar mutasi pejabat oleh kepala daerah semestinya lebih pada pertimbangan objektif menyangkut kinerja pejabat yang bersangkutan, bukan karena faktor like and dislike dan karena ekses dukung mendukung di pilkada.
Sebagaimana tertuang dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 73 ayat 7 juga ditegaskan, ?mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan larangan konflik kepentingan?.
Jika melihat UU No. 05 Tahun 2014 tentang ASN, khususnya pasal 116 Ayat 1, disebutkan, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama dua tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali pejabat tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.
Bahkan untuk kesinambungan serta penjaminan pengembangan karir Aparatur Sipil Negara (ASN) di masing-masing daerah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) melalui SE No. 02 Tahun 2016 tentang Penggantian Pejabat Pasca Pilkada, menginstruksikan agar Kepala Daerah yang baru saja dilantik melarang mengganti pejabat pimpinan tinggi selama dua tahun sejak pelantikan pejabat tersebut.
?Akankah permasalahan berhenti sampai disini? ternyata tidak!!!?, jelas Achmad
Karena dalam Pasal 13 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengamanatkan bahwa Jabatan ASN terdiri atas :
1.Jabatan Administrasi
2.Jabatan Fungsional
3.Jabatan Pimpinan Tinggi.
Dan dalam Pasal 87 ayat 1, PNS diberhentikan dengan hormat karena :
1.meninggal dunia
2.atas permintaan sendiri
3.mencapai batas usia pensiun
4.perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini
5.tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban.
Yang sangat menarik adalah seperti halnya yang tercantum Pada Pasal 90 disebutkan, batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat 1 huruf c yaitu:
1.58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi;
2.60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi;
3.sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan bagi Pejabat Fungsional.
Yang terjadi saat ini di Jember menurut Achmad, adalah, terdapat 10 orang Plt (setara dengan jabatan/pejabat administrasi) eselon II (Pejabat Pimpinan Tinggi) yang ada di Kabupaten Jember telah memasuki ?batas usia pensiun? melampaui usia 58 tahun, namun didemisionerkan menjadi staff dan dijadikan pejabat dengan jabatan Plt.
?Lalu siapa yang bertanggung jawab jika di kemudian hari, yang bersangkutan dikenakan sanksi untuk mengembalikan atas kelebihan bayar uang Negara??, tanyanya.
Dari permasalahan yang terjadi di Pemerintahan Kabupaten Jember, kata Achamd bisa di-indikasikan, telah terjadi pelanggaran akibat tindakan Hendy Siswanto sebagai Bupati terpilih dengan ?mendemisionerkan? seluruh jabatan dengan memberi jabatan Plt kepada pejabat eselon II, III dan IV, dan berpotensi melanggar peraturan perundang undangan yang berlaku di NKRI hingga dapat berimplikasi pada hukum, yaitu :
1.Pelanggaran terhadap UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 71 Ayat 2 dan Pasal 190.
2.Pelanggaran terhadap UU Administrasi Negara (UUAP) No 30/ 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang tertuang dalam Pasal 14 ayat 1, 2 dan 7 dan pasal 34 ayat 2.
3.Pelanggaran terhadap UU No. 5/ 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 73 ayat 7, Pasal 13, Pasal 87 point c dan pasal 90.
4.Pelanggaran terhadap UU No. 8/2015 tentang Perubahan Atas undang-Undang No.1/2015 tentang Penetapan Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang, khususnya pasal 162 ayat 3.
5.Pelanggaran terhadap UU No. 05 Tahun 2014 tentang ASN, khususnya pasal 116 ayat 1.
6.Pelanggaran terhadap Surat Edaran (SE) Mendagri No. 820/6923/SJ Tentang Larangan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota Yang Menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020.
7.Pelanggaran terhadap Surat Edaran PANRB No. 02 Tahun 2016 tentang Penggantian Pejabat Pasca Pilkada.
8.Pelanggaran terhadap Surat Edaran BKN No. 1/SE/I/2021 tentang Kewenangan Plh dan Plt.
Meihat Keadaan itu, Drs. H. Achmad Sudiono memberikan abstraksi :
– Fenomena balas dendam dan balas jasa sangat terasa dalam penataan SDM di Pemerintah Kabupaten Jember,
– nuansa politis dalam penataan SDM dengan dalih untuk mengisi kekosongan jabatan dan berdasarkan pengalaman sebelumnya, kepala daerah terpilih setelah dilantik akan melakukan mutasi, rotasi, pergeseran bahkan sampai menon-jobkan aparatur sipil negara eselon II,III dan IV
– dan tindakan tersebut acap kali dilatar belakangi faktor subjektivitas.
?Wes Wayahe Dipikir Maneh?, pungkasnya