EDITOR.ID, Surabaya, -? Keinginan para pelajar di Jawa Timur untuk kembali mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) semakin memuncak. Hasil survei Surabaya Survey Center (SSC) yang melibatkan 1.070 anak muda di 38 kabupaten/kota se-Jatim menyebutkan, 77,4 persen responden berharap agar mereka bisa kembali belajar tatap muka. 19.3 persen masih merasa nyaman dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ), Sedangkan 12.7 persen memilih tidak tahu atau tidak menjawab.
Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur yang membidangi pendidikan, Deni Wicaksono, mengatakan, saat ini memang mayoritas pelajar ingin kembali belajar secara tatap muka di sekolah.
?Saya juga sudah diskusi dengan ratusan pelajar lewat virtual, semuanya bilang kangen sekolah. Pembelajaran tatap muka bagaimana pun melahirkan experience yang berbeda dibanding daring,? ujar Deni kepada media, Sabtu (17/4/2021).
Lebih dari setahun mengikuti pembelajaran jarak jauh, lanjut politisi PDI Perjuangan itu, telah membawa banyak konsekuensi bagi pelajar. Dia menyebut, kajian Bank Dunia yang menyatakan, penutupan pembelajaran di sekolah memicu penurunan nilai ujian rata rata hingga 25 persen. Pandemi ini juga menurunkan efektivitas tahun sekolah dasar yang dicapai anak: dari 7,9 tahun menjadi 7,3 tahun.
?Riset-riset global, termasuk dari UNICEF menyebutkan pandemi berpotensi menurunkan kompetensi dasar siswa karena menurunnya waktu kualitas belajar,? ujar Deni.
Deni mendukung penuh dilaksanakannya PTM yang oleh Mendikbud ditargetkan berlangsung di semua sekolah pada Juli 2021. Saat ini, dari dari 38 kabupaten/kota se-Jatim, yang belum melaksanakan PTM adalah Kota Surabaya, Kota-Kabupaten Kediri, dan Kota Malang. Adapun kabupaten/kota yang sudah melaksanakan PTM, semuanya dilakukan terbatas, hanya 25-50 persen kapasitas kelas yang dipakai.
PTM, papar Deni, sangat penting untuk menjaga akselerasi kualitas sumberdaya manusia (SDM). Meski demikian, Deni menggarisbawahi empat hal yang sangat penting diperhatikan.
Pertama, penerapan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin. ?Saya paham semuanya kangen sekolah, kangen belajar di kelas, kangen cerita bapak/ibu guru, tapi protokol kesehatan tidak boleh ditawar,? ujarnya.
Kedua, pengaturan jam PTM. Sesuai protokol, maka kelas hanya boleh diisi maksimal 50 persen kapasitas kursi. Artinya, tetap ada pelajar yang mengikuti pembelajaran daring. Deni menyarankan ada pembagian dua kelas, yaitu jam pagi dan siang atau sore. Atau diatur komposisi antara PTM dan PJJ. Sehingga semua pelajar kembali PTM. Tentu ada konsekuensi lanjutan, misalnya memberi insentif ke guru.
?Atau kita buka gerakan relawan mengajar dengan melibatkan mahasiswa tingkat akhir di kampus-kampus pendidikan untuk ikut membantu mengajar di sekolah. Kan kurikulum sudah ada, mahasiswa tingkat akhir pasti sudah paham. Sehingga kelas pagi dan siang terlaksana tanpa menambah beban bapak/ibu guru,? beber Deni.
Ketiga, jadikan PTM sebagai sarana memasifkan edukasi kesehatan. Saatnya kita memperkuat gaya hidup sehat sejak dari sekolah.
?Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah revitalisasi unit kesehatan sekolah (UKS). UKS kita revitalisasi dengan menjadikannya sebagai pilar promosi dan preventif kesehatan. Sinergikan UKS dengan Puskesmas. Puskesmas menyupervisi UKS. Puskesmas masuk ke sekolah-sekolah untuk edukasi kesehatan,? beber Deni.
?Saya yakin, jika urusan ini tuntas di sekolah, kita akan punya generasi yang disiplin menerapkan gaya hidup sehat. Ujungnya, derajat kesehatan masyarakat akan meningkat,? jelasnya.
Keempat, lanjut Deni, pentingnya pendidikan parenting. Pararel dengan penyiapan PTM, Deni mendorong Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk menggerakkan sekolah agar masif menggelar pendidikan parenting secara daring bagi orang tua siswa.
?Ini adalah momentum untuk menyediakan pendidikan parenting kepada orang tua. Pendidikan parenting sangat penting karena tidak semua orang tua memahami bagaimana sih pendidikan anak, padahal saat ini kan anak banyak berada di rumah,? pungkas Deni. (Tim)