Oleh : Edi Winarto
Penulis Dosen/ Staf Pengajar
Kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sering dikaitkan dengan aksi teror bom bunuh diri. Pelaku teror kebanyakan disebut-sebut sebagai pengikut kelompok yang konon punya afiliasi dengan negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)
JAD dibentuk pada 2015 silam oleh 21 organisasi teror yang mendeklarasikan kesetiaan pada negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), seperti Majelis Indonesia Timur dan Barat, Ikhwan Mujahid Indonesi fil Jazirah al-Muluk, Khilafatul Muslimin, dll.
Kelompok ini pada tahun 2014 dipimpin Aman Abdurrahman melanjutkan perjuangan para pendahulunya. Namun oleh pemerintah Indonesia, Aman dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap karena terlibat dibalik sejumlah aksi teror bom di tanah air.
Saat beraa di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Aman mengumpulkan sejumlah pengikutnya yakni Abu Musa, Zainal, M Fachri, dan Khaerul Anwar untuk melakukan pertemuan
Dalam pertemuan tersebut, Aman disebut menyampaikan beberapa hal terkait telah berdirinya Khilafah Islamiyah di Suriah, serta kewajiban umat Muslim mendukung baiat kepada Abu Bakar Al Bagdadi.
Dalam pertemuan itu, Aman juga menyampaikan perlunya membentuk wadah jemaah yang ada di Indonesia sebagai pendukung Khilafah Islamiyah.
Tujuannya, mewadahi orang-orang yang bersimpati dengan daulah Islamiyah yang ingin bergabung untuk menyamakan manhaz atau pemahaman dengan manhaz daulah Islamiyah.
Aman menunjuk Abu Musa menjadi pemimpin atau dikenal dengan amir jemaah pusat guna membentuk wadah tersebut. Sedangkan Zainal ditunjuk sebagai amir jemaah Jawa Timur. Abu Musa dan Zainal ditunjuk karena dinilai keduanya memiliki jemaah yang cukup banyak.
Tujuan JAD untuk mendukung daulah Islamiyah yang ada di Suriah dengan melakukan kegiatan penyebaran dakwah khilafah, melaksanakan hijrah, dan berjihad.
Pada November 2014, Zainal mulai membentuk struktur JAD Jawa Timur yang memiliki kepengurusan ketua, sekretaris, bendahara, hingga kehumasan. Zainal juga membentuk pimpinan JAD di sejumlah wilayah di Jawa Timur.
Setelah membentuk struktur kepengurusan, Zainal membuat program kerja serta bidang yang membawahinya, di antaranya bidang askary untuk mengadakan idad/tadrib askari, dauroh internal (amaliyah), bidang i’lam untuk pembuatan website dan tabligh akbar, serta bidang amaliyah guna penggalangan dana.
Pada September 2015, Abu Musa mengundang sejumlah pendukung daulah/khilafah Islamiyah Indonesia ke Cilacap. Dalam pertemuan itu, Abu Musa menyampaikan akan menggelar dauroh dai nasional yang akan digelar pada November 2015.
Abu Musa meminta kesediaan Zainal untuk menjadi pimpinan JAD menggantikan dia yang akan berangkat ke Suriah bergabung dengan kelompok teroris ISIS.
Zainal kemudian membentuk panitia pelaksana. Kegiatan tersebut digelar selama 3 hari bertempat di vila yang berada di kawasan Batu, Malang.
Sejumlah kegiatan yang dilakukan pada acara tersebut yaitu mengadakan taklim atau kajian mengenai tauhid, khilafah, dan jihad. Digelar juga teleconfrence dengan Aman dari Nusakambangan, dengan menggunakan ponsel milik Zainal yang didengarkan oleh seluruh anggota JAD yang hadir.
Adapun saat acara yang sama, di lantai II vila, Zainal membentuk kepengurusan dan menunjuk sejumlah pemimpin JAD di berbagai wilayah di Indonesia.
Sejak terbentuk, organisasi ini sudah berulangkali melancarkan serangan di tanah air.
JAD antara lain bertanggungjawab atas serangan bom Thamrin dan Kampung Melayu, bom di Polres Surakarta, penyerangan Mapolres Banyumas, bom panci di Bandung, baku tembak di Tuban, Jawa Timur, penyerangan pos kepolisian di Banten, pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda, bom di Surabaya dan serangan ke Wiranto.
Pertautan Aman dengan ISIS mulai tercium publik ketika dia mengeluarkan fatwa jelang serangan bom Thamrin 2016 silam. “Berhijrahlah ke negara Islam dan jika tidak mampu, maka berjihadlah di negara masing-masing,” tulisnya.
Sejak 2017 silam pemerintah AS menempatkan JAD dalam daftar organisasi teror dan melarang semua perusahaan AS berurusan dengan kelompok tersebut.
Pada 31 Juli 2018 , pengadilan di Jakarta Selatan membuat putusan yang melarang organisasi tersebut, yang memungkinkan penangkapan semua anggota dan organisasinya.
JAD dilaporkan memiliki kaitan dalam pengeboman sejumlah gereja di Surabaya pada tahun 2018 silam. Dua anggota JAD juga diyakini telah melakukan serangan pisau pada Menkopolhukam Indonesia yaitu Wiranto pada 10 Oktober 2019, yang mengakibatkan Wiranto dirawat di rumah sakit. Tiga orang lainnya, termasuk seorang Polisi, ditikam dan dilukai.
Wiranto ditusuk saat berada di Alun-alun Menes, Pandeglang setelah setelah meresmikan Gedung Kuliah Bersama di Universitas Mathla’ul Anwar. Kedua pelaku diketahui bernama Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dan Istrinya dan Fitri Andriana.
Sebagaimana dilansir dari Tribunnews, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan mengungkapkan bahwa penusuk Menko Polhukam Wiranto, merupakan anggota kelompok terorisme Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi.
Pelaku yakni Abu Rara, dulunya anggota JAD dari Kediri, Jawa Timur. Kemudian pindah ke Bogor. Setelah cerai dengan istrinya, Abu Rara pindah ke Menes, Pandeglang, Banten. Karena cerai dengan istri pertama pindah ke Menes. Dan difasilitasi oleh salah satu Abu Syamsudin, dari Menes, untuk tinggal di Menes.
Lantas bagaimana memetakan pelaku teroris di Indonesia. Bagaimana melacak keberadaan mereka. Bagaimana mengetahui jaringan mereka dan kapan mereka akan melakukan aksi teror.
Untuk mengungkap dan membongkar jaringan JAD ini memang tak mudah. Karena mereka terus bergerak, berpencar dan membangun kader baru. Jika aparat keamanan telah mendapatkan sejumlah nama Amir atau pemimpin mereka atau pengikut kelompok yang masuk dalam target operasi. Maka kelompok-kelompok dari jaringan JAD ini memecahkan diri menjadi kepingan kelompok-kelompok baru yang lebih kecil. Dan mereka bergerak membangun jaringan baru dan kaderisasi nama baru.
Mereka juga berpindah-pindah ke suatu daerah ke daerah lainnya untuk menghindari pengejaran aparat keamanan. Namun berdasarkan analisa dan hipotesa penulis, hanya ada beberapa daerah yang membuat mereka aman dan nyaman untuk bersembunyi. Terutama basis-basis kantong mereka yang selama ini aparat banyak melalukan penangkapan.
Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan penulis di enam kota yang selama ini menjadi kantong-kantong persembunyian kelompok mereka, penulis mendapatkan data atau hipotesa sementara.
Pertama, jaringan gerakan JAD mengajarkan pola amaliah yang targetnya selalu menyerang instansi negara dan aparat penegak hukum dengan cara teror bom bunuh diri tempat ibadah, tempat publik yang dianggap mereka sebagai “musuh” atau kapitalis dan menyerang aparat penegak hukum.
Kedua, kelompok JAD ini bergerak dengan sel-sel terputus atau terpecah-pecah dalam kelompok kecil. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dalam bentuk pengajian. Bahkan sulit terdeteksi bahwa kelompok tersebut terafiliasi dengan JAD.
Sejumlah responden yang pernah terlibat dalam jaringan ini dalam wawancara dengan penulis mengaku mereka tak sadar dan tak mengetahui jika kelompok pengajian mereka terafiliasi dengan JAD.
Niat pengikut ini baik saja untuk mencari ilmu tentang agama. Namun ada sebagian responden tak tahu jika ia tergabung dalam kelompok “garis keras atau radikal”. Ia memahami ketika si Amir atau guru mulai mengajarkan hal-hal tentang amaliah.
Mereka juga sering menggelar pertemuan antar kelompok. Uniknya saat menggelar pertemuan antar kelompok ada responden mengaku ia mengenal anggota kelompok lain adalah saudaranya. Dan mereka justru tak saling mengenal.
Antara satu kelompok dengan kelompok lain membentuk pola seperti multi level marketing (MLM). Antara satu kelompok dengan kelompok lain “menyambung” dari atas yakni “upline” ke bawah yakni “downline.” Dari kelompok-kelompok kecil inilah, mereka melakukan rekruitmen calon kader.
Ketiga, Pola Rekruitmen. Cara kelompok kecil ini mendapatkan pengikut baru yakni dengan mencari orang yang mengalami kesulitan ekonomi, jiwanya labil, punya masalah keluarga dan psikologis.
Si pencari calon pengikut ini kemudian mendekati orang yang sedang dirundung “masalah”. Kemudian ia membangun image sebagai penolong, pendamping, dan memberikan “ketenangan batin” kepada calon pengikut yang latarbelakannya bermasalah atau pemikiran radikal.
Bahkan oleh Amir atau pemimpin kepingan kelompok kecil dari jaringan JAD, si calon kader diberikan bantuan-bantuan keuangan. Calon pengikut kemudian dimotivasi dan diagitasi sedemikian rupa hingga percaya dengan gerakan mereka dan tidak memiliki akal sehat.
Satu sama lainnya tidak saling mengenal. Adapun yang menyatukan mereka adalah pola dan ajaran dan yang punya koneksi adalah pimpinan kelompok yang mereka sebut sebagai Amir.
Keempat, pelaku yang tiba-tiba punya keinginan untuk melakukan aksi teror bom atau apapun ini awalnya dicuci otaknya (brain wash) dengan pemahaman ideologi agama yang salah. Pimpinan kelompok yang disebut mereka dengan sebutan “Amir” menggunakan dalil ayat agama untuk meyakinkan “calon pengantin” bom jika mereka melakukan amaliah ini maka mereka telah memperjuangkan di jalan yang benar.
Jika pola pikir mereka sudah dicuci dengan pemahaman amaliyah jihad, maka Amir akan dengan mudah “menggerakkan” para pengikutnya atau calon pengantin bom untuk melakukan aksi teror dan menyerang simbol bangunan tempat ibadah dan pemerintah.
Kelima, soal pendanaan. Pada awalnya sang Amir atau pemimpin kelompok ini punya “modal” uang dan barang untuk membiayai merayu calon pengikut. Namun nantinya setelah calon pengikut terpengaruh ideologi mereka, maka si pengikut akan rela memberikan harta yang dimilikinya untuk perjuangan kelompok ini.
Bahkan rata-rata pengikut ini berprofesi sebagai pengusaha mikro. Mereka berdagang. Nantinya sebagian dari hasil usahanya ia sumbangkan untuk biaya kelompok. (***)