Oleh : Edi Winarto
Penulis Jurnalis Senior
Kebiasaan Tri Rismaharini yang tidak bisa diam melihat orang miskin, tuna wisma, pemulung dan orang jompo sejak menjabat Walikota Surabaya, kini dibawanya ketika menjadi Menteri Sosial.
Karakter itu sih sah-sah saja. Apalagi jabatannya sebagai Menteri Sosial. Yang jelas wilayah kerjanya memang ada disana. Bu Risma harus memastikan rakyat Indonesia yang belum mendapatkan perlakuan adil secara ekonomi harus dijenguk, disapa dan disentuh.
Bahkan menurut penulis, Presiden Joko Widodo sangat tepat memilih Risma mengemban tugas sebagai Menteri Sosial. Sejak menjadi walikota Surabaya penulis selalu mengikuti sepak terjang Risma. Ada satu kebiasaan luar biasa yang dimiliki sosok Risma.
Ibu asli arek Suroboyo ini selalu bangun pagi-pagi sekali. Sebelum masuk kantor, ia keliling dulu mencari orang miskin, anak-anak terlantar atau penderita disabilitas untuk dia tolong.
Entah dibantu biaya pendidikan, disalurkan ke dinas sosial untuk dilayani dan dirawat. Atau diantar ke rumah sakit bagi rakyat miskin yang sedang sakit tapi ga punya biaya berobat. Dan Risma mengantar ke Rumah Sakit pemerintah untuk dirawat secara gratis.
Nah kebiasaan alumnus ITS Surabaya ini kebawa hingga saat bertugas di Jakarta. Baru masuk kantor, Bu Risma sudah “kabur†blusukan. Memang perginya tidak jauh. Cukup di belakang kantornya, Kementrian Sosial.
Bayangkan sebuah Kementrian Sosial hanya berjarak beberapa meter tinggal warga miskin dalam sebuah “perumahan†di kolong jembatan tanpa ada yang menyapa dan mengubah nasib hidupnya.
Dan ketika Risma saat ini sudah menjadi Menteri Sosial, kebiasaannya menemui orang susah untuk menghiburnya tetap dia lakukan.
Namun tak disangka kehadiran Risma di potret kehidupan kemiskinan di ibukota dipersepsikan membawa pesan tentang masih adanya orang miskin tidak mendapatkan tempat yang layak. Padahal Pemerintah Propinsi DKI Jakarta termasuk daerah yang APBD nya sangat luar biasa surplus. Namun masih ada warga yang menempati kolong jembatan tanpa perhatian.
Kehadiran Risma menengok “wilayah kerjanya†di simpul-simpul kemiskinan seperti di kolong jembatan, jalanan kemudian ditafsirkan bermacam-macam. Apalagi oleh orang politik.
Blusukan Risma dinilai melakukan pencitraan dan mencari perhatian.
Padahal menurut penulis justru ada pesan besar yang tersirat dari aksi Risma selama 3 hari mengobrak-abrik simpul-simpul potret kemiskinan di DKI Jakarta. Bahwa ternyata selama ini pembangunan kota besar dengan sarana kemewahan dari trotoar hingga sarana transportasi kurang menyentuh orang-orang marjinal dalam kubangan kemiskinan.