EDITOR.ID, Purworejo, – Pemerintah telah membuat keputusan membubarkan dan melarang segala bentuk kegiatan serta simbol-simbol Front Pembela Islam (FPI). Ada yang pro dan kontra terhadap keputusan yang dituangkan dalam SKB enam menteri dan pejabat setingkat menteri tersebut.
Salah satu yang mendukung adalah, KH Habib Hasan Agil Baabud, pemilik Pondok Pesantren Al Iman, Desa Bulus, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Menurut Wan Hasan, panggilannya, gerakan FPI bukanlah dakwah melainkan gerakan politik.
“Sebenarnya, ormas yang gerakannya sama seperti FPI banyak, yang tanpa nama juga ada. Slogan mereka kembali Al Quran dan As Sunnah, hanya kampanye yang menyesatkan. Bungkusnya saja yang agama, tapi sebenarnya gerakan politik. Saya menyambut gembira dibubarkannya FPI dan penghentian segala bentuk kegiatan FPI,” kata Wan Hasan saat ditemui di kediamannya, Komplek Ponpes Al Iman.
Kyai tokoh NU tersebut melanjutkan, mengenai klaim FPI, HTI dan ormas sejenis bahwa gerakan mereka membela Islam merupakan hak ormas tersebut.
“Bagi saya, mereka adalah pemberontak. Masak dalam dakwah kok yang diajarkan kebencian pada pemerintah yang ada, menjatuhkan pemerintahan dan presiden yang sah. Saya merasa gerakan mereka mirip dengan PKI hanya beda simbol. Dalam Islam, tidak diperbolehkan untuk memberontak kepada pemerintahan yang sah. Bughot (pemberontak) harus kita tumpas,” kata Wan Hasan sebagaimana dilansir dari Gatra.
Untuk mengimbangi ajaran-ajaran sesat radikal, kata Wan Hasan, harus diimbangi dengan dakwah-dakwah dari para kyai dan mubaligh yang ada di daerah atau pedalaman atau istilahnya kyai-kyai kampung.
“Di Kabupaten Purworejo, FPI sudah membuat cabang di kecamatan-kecamatan. Mereka (pengurus FPI Purworejo) sudah pernah kemari meminta saya menjadi anggota dewan penasihat. Katanya mereka membela amar ma’ruf nahi munkar. Tapi saya tidak tertarik,” katanya
Ia sebelumnya yakin bahwa FPI akan berganti nama, namun menurutnya sama saja jika orang dan platform organisasinya sama dengan FPI.
“Mereka (FPI) tidak mau menerima Pancasila dan UUD 45. Mereka ingin mengganti Pancasila bersyariah, NKRI bersyariah. Bagaimana bisa, untuk menyatukan sesama umat Islam saja susah, apalagi banyak agama. Pendiri negara ini mencetuskan dasar negara kita berdasar kesepakatan dan sudah final,” tegas Kiai yang lahir tahun 1958 tersebut.
Menurutnya, jika founding father bangsa ini ingin mendirikan Negara Islam, saat itu bisa. Tetapi opsi tersebut tidak dipilih karena ulama dan kyai waktu itu berpikir ke depan.