Jakarta, EDITOR.ID,- Advokat yang tinggal Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel), Raga Felix, menggugat UU Pendidikan Tinggi dan UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pria yang peduli dengan dunia pendidikan itu mendorong agar akademisi tidak dikenakan pasal penodaan agama.
“Menyatakan frasa “menjunjung tinggi nilai – nilai agama” dalam Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tanpa adanya ancaman dan pertanggungjawaban pidana bagi Sivitas Akademika untuk berbeda pendapat dengan pandangan umum keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat”,” demikian permohonan Raga sebagaimana dilansir website MK, Minggu (23/7/2023).
Dalam argumennya, ia menyatakan Indonesia masih berkutat dalam perdebatan mengenai dampak positivisme yang mencabangkan rumpun ilmu pengetahuan. Indonesia masih berupaya memilah-milah cabang pengetahuan dan masih berdebat dalam memilah pengetahuan agama dan pengetahuan non agama.
“Kita masih mencari mana yang lebih penting dan mencari siapa yang merupakan otoritas untuk menyatakan benar dan salah seperti pada zaman pertengahan,” sebutnya sebagaimana dilansir dari detikcom.
Ia menyatakan saat ini tidak dapat mengelak bahwa RI telah memasuki era informasi di mana terdapat ledakan pengetahuan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Baik revolusi neolitikum maupun revolusi industri umat manusia telah melewatinya.
“Zaman tidak bisa ditolak karena terus berjalan, hanya saja kita harus menentukan berada di mana kita. Pada kondisi seperti ini sebaik – baiknya sikap adalah mengalah (altruistik) dan menurunkan keangkuhan kita untuk mendengarkan kebenaran,” ungkapnya.
Menurut Raga, pengaruh pemerintah terhadap sivitas akademika sangat kuat. Hal ini menyebabkan sivitas akademika di Indonesia memang masih mengalami rasa takut untuk mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya. Seorang profesor ketika memberikan keterangan ahli di persidangan untuk menafsirkan persoalan agama yang berbeda dengan keterangan Pemerintah justru setelahnya dicopot dari jabatannya.
“Padahal ketika memberikan keterangan sebagai ahli, sebelumnya memberikan sumpah untuk memberikan keterangan sebagai ahli dengan sebenar-benarnya. Dengan kejadian tersebut, apakah seharusnya sumpah seorang ahli di pengadilan harus diganti menjadi : “akan memberikan keterangan sebagai ahli sesuai dengan arahan Pemerintah”? Apakah Sivitas Akademika harus selalu menjadi bagian dari Pemerintah itu sendiri? Hati nurani yang dapat menjawab hal ini,” tegasnya.