Jakarta, EDITOR.ID,- Otoritas Indonesia berpotensi akan melarang keras warganya menghisap rokok. Hal tersebut terungkap dalam penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan. Pasalnya, dalam draf RUU Kesehatan ada pasal bunyinya Rokok disejajarkan oleh minuman alkohol dan narkotika. Sebagai barang ilegal dan haram.
Ketentuan soal rokok barang ilegal tercantum dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) dengan bunyi, zat adiktif dapat berupa, narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Produk-produk legal seperti rokok, hasil pengolahan tembakau lainnya, dan minuman beralkohol dengan narkotika dan psikotropika dalam satu kelompok zat adiktif.
Padahal saat ini, narkotika dan psikotropika telah diatur oleh undang-undang tersendiri.
Penyusunan RUU Kesehatan yang juga mengatur soal rokok dan narkoba ini mendapat kritikan para pakar hukum. Pasalnya, materi pasal dalam RUU Kesehatan menggunakan metode omnibus law.
“Hal ini harus mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik agar tidak memunculkan masalah baru,” sebut pemerhati hukum.
Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus, menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif.
Tujuannya agar tidak ada multitafsir yang kelak dapat memicu masalah lebih besar.
Sebab menurutnya jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa.
Perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda.
“Saya memahami niat Kementerian Kesehatan dalam mendorong revisi RUU Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,” ujar Sunny seperti dikutip, Selasa (4/4/2023).
“Namun Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya.”
“Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat,” tambahnya.
Ia juga mempertanyakan apa maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan.
“Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal? Atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal?” tanya dia.
Sunny turut menekankan revisi regulasi harus dikonstruksi secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu, Sunny juga mengingatkan ketentuan penyusunan regulasi nasional secara prosedural harus mengacu UU 12/2011 yang diperbaharui dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.