Jakarta, EDITOR.ID,- Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan Pemilu 2024 menuai polemik di masyarakat. Hampir seluruh kalangan mempertanyakan.
Pengamat politik Asri Hadi menilai memang agak aneh dan perlu dipertanyakan latar belakang penggugat mengajukan gugatan melalui jalur perdata dalam perkara sengketa partai politik.
Asri berpendapat kalau itu memang ranah atau domain sengketa Pemilu, seharusnya hakim membuat putusan tidak dapat diterima atau putusan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena tidak memenuhi kompetensi relatif. Pasalnya kepentingan gugatan yang diajukan tujuannya politik, bukan perdata.
“Sehingga kalau menurut saya perkara yang digugat partai itu domainnya adalah politik. Keputusan KPU tidak meloloskan partai itu adalah keputusan politik bukan perbuatan melawan hukum, disini menurut saya seharusnya bukan ranah gugatan perdata tapi gugatan keputusan penyelenggara negara, dan itu menurut undang-undang mekanisme nya diajukan ke Bawaslu atau PTUN,” ujar Asri Hadi dalam keterangannya.
Sementara pengamat politik yang juga Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Persatuan Nasional di era Presiden Abdurachman Wahid ini, Prof Muhammad AS Hikam mengungkapkan dirinya mendapat paparan dan pernyataan soal putusan hakim PN Jakpus memerintahkan menunda Pemilu dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (MenkoPolhukam) Mahfud MD.
Menurut AS Hikam, Prof Mahfud sangat kecewa dengan putusan pengadilan itu. Pengadilan Jakarta Pusat dinilai Mahfud, membuat sensasi yang berlebihan.
“Pak Hikam, PN Jakarta Pusat membuat sensasi yang memuakkan. Masak, KPU divonis kalah dalam perkara perdata oleh Pengadilan Negeri (PN),” ujar Menko Polhukam Prof Mahfud MD sebagaimana disampaikan Prof Muhammad AS Hikam yang saat ini menjabat Guru besar Fakultas Humaniora di President University.
“Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang mengganggu konsentrasi.,” ujar Mahfud MD.
Menurut Mahfud MD, bisa saja perkara tersebut nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar.
“Saya sudah bicara dengan KPU agar naik banding dan melawan habis-habisan,” katanya.
Kemudian Mahfud MD memaparkan, kalau secara logika hukum pastilah KPU menang.
Mengapa? Ini alasan hukumnya:
1. Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.
2. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN. Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN.