Oleh Imam Hidayat
Penulis Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
EDITOR.ID,- Pelarangan kuasa hukum korban untuk ikut memantau proses rekonstruksi pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua Hutabarat alias Brigadir J, patut disayangkan dan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia dalam hal kesetaraan dihadapan hukum.
Direktur Tindak Pidana Umum (Ditipidum) hanya memberi tempat untuk jaksa penuntut umum, kuasa hukum tersangka dan saksi-saksi untuk ikut dalam proses memantau rekonstruksi. Hal ini mempertontonkan kepada publik betapa diskriminasi perlakuan hukum masih terjadi di republik ini.
Dirtipidum berdalil bahwasanya tidak ada ketentuan terkait proses rekonstruksi menghadirkan korban yang sudah meninggal atau kuasa hukumnya.
Kompolnas, Komnas HAM hingga LPSK ikut mengawasi rekonstruksi. Namun kuasa hukum dari almarhum Brigadir J tersebut dilarang oleh kepolisian untuk hadir dalam proses rekonstruksi.
Hal tersebut terdapat kejanggalan hukum yang jauh dari kata adil, sebab kuasa hukum tersebut merupakan wakil dari korban pembunuhan alamarhum Brigadir j untuk mencari keadilan ternyata di bungkam.
Hal tersebut jelas merusak marwah penegak hukum yang seharusnya mengakkan keadilan dan hukum, namun yang terjadi malah sebaliknya.
Hal ini menjadi ancaman serius bagi para advokat dalam menjalankan profesinya yaitu mewakili, mendampingi para pencari keadilan. Karena ada tindakan yang tendensius terhadap kekuasaan dan kewenangan yang sewenang-weanang salah satu penegak hukum yakni kepolisian terhadap advokat.
Hal ini membuat diskresi yang memicu polemik dalam penegakan hukum dan keadilan. Padahal dalam statusnya advokat merupakan penegak hukum. Hal ini dijamin oleh hukum dan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Artinya advokat memiliki kedudukan sederajat dengan penegak hukum yang lain polisi, jaksa, hakim.
Rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam metode pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana.
Tujuan dari pemeriksaan sendiri dapat disimpulkan dari pengaturan Bab III angka 8.3.a Surat Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana.
Dalam juklak tersebut tidak ada sama sakali yang melarang kuasa hukum dan korban untuk hadir dalam proses rekonstruksi.
Tindakan tersebut sudah melampaui batas wewenang kepolisian dalam menyelesaikan perkara. Seharusnya demi keadilan dan keterbukaan kepolisian mempersilahkan kuasa hukum untuk hadir bukan melarang.