Menurut Mahfud, Bung Karno banyak berguru pada tokoh Islam berpengaruh seperti Ahmad Hasan dan HOS Tjokroaminoto.
“Ada yang bilang Bung Karno itu aliran sekuler anti Islam, tidak. Bung Karno itu santri juga, dia orang Muhammadiyah, ngaji ke A. Hasan, ngaji ke Tjokroaminoto, dia santri,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa seluruh dimensi pemikiran geopolitik Soekarno memiliki esensi untuk membangun kepemimpinan Indonesia bagi dunia.
“Karena itulah mempelajari geopolitik ini kita membangun kepemimpinan di bidang pendidikan, di bidang olahraga, pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi, pentingnya bagaimana membangun kekuatan diplomasi,” tuturnya.
Hasto mengatakan gagasan geopolitik Soekarno merupakan pemikiran yang membangun peradaban dunia agar lebih demokratis dan bebas dari segala bentuk penjajahan serta dunia yang menempatkan setiap bangsa duduk setara.
“Kemudian dibangun solidaritas melalui suatu kerja sama antarbangsa bagi kemakmuran umat manusia sedunia,” kata Hasto.
Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang hebat. Namun, kata dia, pascareformasi, kemudian terjadi global reproduction of American politic sehingga Indonesia kehilangan akar jejak sejarah tentang konsepsi negara Indonesia yang luar biasa.
“Dan para pendiri bangsa dikatakan kuno karena tidak membawa demokrasi dalam wajah keadilan, wajah ekonomi, wajah tertib hukum. Reformasi kita kehilangan konsepsi selama 32 tahun akibat pemerintahan otoriter, gagasan-gagasan ideal tentang bangsa ini disembunyikan. Maka itu, pembahasan dari ideologi, konstitusi dan budaya hukum ini sangat penting,” kata Hasto.
Dalam penutup diskusi sebagai pemandu Fachry Ali mengatakan melalui disertasi Hasto kita bisa melihat, kita bisa mengkritik karena bersifat pos waktu, kita mengkritik pandangan Sukarno tentang geopolitik maupun kebijakan politik domestik yang dilakukan.
“Terutama misalnya dalam konteks melalui guiden democratie dan seluruh konsekuensi yang dilihat, itu bersifat pos waktu tetapi sebagaimana kita bisa membaca dalam buku karya Herbert Feith berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,” papar Fachry.
Atau, lanjut Fachry, karya Herbert Feith yang mengumpulkan pikiran-pikiran politik bangsa Indonesia bersama Frances L. Starner, yang diberi judul Indonesian Political Thinking.
“Kita melihat bahwa beberapa sistem gagasan yang direkonstruksikan oleh kalangan barat itu perlu kemudian di dekonstruksi, nah dekonstruksi yang juga tetap dengan kritis, disitulah posisi dari disertasi Hasto tentang sistem gagasan geopolitik dan geoekonomi Bung Karno yang sepanjang bacaan saya belum pernah ada yang membahas sistem gagasan Bung Karno tentang geopolitik,” kata Fachry Ali.