Walikota Surabaya Tri Rismaharini tetap akan menggunakan Salam Lintas Agama untuk menghormati Warganya yang beragama berbeda (Sumber Foto: IDNnews Jatim)
EDITOR.ID, Surabaya,- Demi menjaga keutuhan bangsa, menjaga nilai persatuan, kesatuan dan menghargai warga Surabaya dari berbagai latar belakang agama, Walikota Surabaya Tri Rismaharini tetap menyampaikan salam lintas agama atau salam toleransi. Bagi Risma ucapan salam yang ia sampaikan bertujuan ingin menghormati tiap agama yang dianut warganya agar mereka tidak merasa terdzalimi. Sebagai pemimpin ia harus bertindak adil.
Menanggapi surat himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk tidak lagi menggunakan salam lintas agama ketika sambutan atau pidato, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini menghormati himbauan MUI Jatim.
Tapi sebagai pemimpin, Risma mengaku tetap dengan keyakinan hatinya bahwa ia harus adil kepada semua warga Surabaya tanpa memandang apapun agamanya. Mereka juga punya hak mendapatkan sapaan dan salam dari pemimpinnya sebagai salam penghormatan meski Risma adalah sosok muslim yang taat.
Menurut Risma, salam tersebut merupakan bentuk keberagaman untuk masyarakatnya yang berasal dari berbagai agama.
Risma memang kerap menggunakan salam dalam 6 versi mulai berbagai agama hingga salam secara umum setiap kali berbicara di depan publik. Penyampaian salam berbagai agama ini ia lakukan untuk menghormati berbagai agama para pendengarnya.
“Kan gak bisa (kalau cuma satu). Kan paling susah kalau jadi kepala daerah. Assalamualaikum sama yang lainnya,” ujarnya saat konferensi pers di kediamannya Jalan Sedap Malam, Senin (11/10/2019).
Risma menjelaskan bahwa masyarakatnya berasal dari berbagai macam latar belakang dan agama. Untuk menghormati mereka, Risma merasa tidak bisa hanya memyampaikan salam dalam agama Islam saja.
“Aku kepala daerah, wargaku kan reno-reno (bermacam-macam). Kalau aku ya ngomong selamat pagi, selamat siang, selesai kan? Tapi kalau misalkan itu kan gak bisa. Kalau aku ngomong di gereja terus piye?” tuturnya.
Menurut Risma seorang Kepala daerah itu tidak boleh berpikiran ekseklusif hanya untuk dirinya sendiri dan kelompoknya tapi tidak menghormati warga dari agama lain.
Kepala daerah, lanjut Risma, harus dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat yang tengah dihadapi.
Sebagai contoh, jika ia harus membedakan penyampaian baik dari pembahasan dan bahasa kepada anak-anak dan orang dewasa. Salam lintas agama juga bentuk penyesuaian Risma dengan masyarakatnya.
“Aku pernah suatu saat diundang disuruh kampanye di Kalimantan. Aku dijemput sama calon wakil wali kota. Acaranya di gereja. Bayanganku kan gereja. Aku bingung, masuk itu semua kerudungan, berjilbab. Aku tanya “ini acara apa?” tanya Risma.