Jakarta, EDITOR.ID,- Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW) 101 kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sidang terungkap adanya “Dana Komando” dimana dana tersebut diperoleh dari pungutan kepada vendor yang memenangkan pengadaan barang dan jasa di TNI AU.
Hal ini terungkap dari pengakuan Bintara Urusan Bayar Markas Besar TNI Angkatan Udara (TNI AU) Sigit Suwastono. Ia dihadirkan dalam persidangan dugaan tipikor Heli AW101 hari ini. Sigit adalah seorang tentara aktif yang bertugas sebagai pemegang kas di Mabes TNI Angkatan Udara.
Kepada Majelis hakim, Sigit Suwastono mengakui sudah terbiasa mengurus dana komando, meskipun hal tersebut tidak ada dalam nomenklatur.
“Dako (dana komando) tidak ada di nomenklatur, tapi kami dari 2013 sudah menangani itu, dari dulu-dulu sudah 4 persen,” kata Sigit Suwanstono yang menjadi saksi pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam dakwaan Irfan disebutkan ada dana komando (DK/Dako) ditujukan untuk Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) periode 2015-2017 Agus Supriatna senilai Rp17,733 miliar dari Irfan Kurnia.
Jumlah tersebut adalah 4 persen dari pembayaran tahap pertama untuk PT Diratama Jaya Mandiri, yaitu senilai Rp436,689 miliar dari total seluruh pembayaran Rp738,9 miliar.
“Tapi, dako itu sebenarnya apa, saya juga tidak mengerti. Dako bersumber dari tagihan yang mengajukan kontrak atau tagihan yang lain,” ujar Sigit dihadapan Majelis Hakim yang memeriksanya.
Kasus korupsi pengadaan Heli AW di TNI AU pada tahun 2016 itu merugikan keuangan negara sebesar Rp738,9 miliar.
Sigit mengaku bahwa dirinya tidak ditugaskan atasan secara khusus untuk meminta dana komando sebesar 4 persen ke vendor, tetapi hal tersebut sudah lumrah terjadi.
“Dana komando di nomenklatur tidak tercatat, tapi kok diurusi? Apakah ada catatan administrasi dana keluar masuk atau sumber-sumber dananya? Kalau dana komando tidak ada di nomenklatur lalu pencatatan 4 persen dalam bentuk apa?” tanya Ketua Majelis Hakim Djumyanto.
“Secara aturan memang tidak ada karena itu rutinitas dari dulu-dulu,” jawab Sigit.
“Tercatat penggunaannya untuk apa?” tanya Hakim Djumyanto.
“Penggunaannya untuk apa tidak tahu, Kaur Yar Pekas yang lebih tahu,” jawab Sigit.
“Tugas saudara apa? Masa tahu masuk tidak tahu keluarnya? Bingung jawabnya? Makanya jujur saja, bisa dijawab jujur?” tanya Hakim Djumyanto lagi.
“Kami dari awal tugasnya mencairkan dan membayarkan, untuk penggunaan spesifik saya tidak tahu,” jawab Sigit.