Dalam konteks ini negara didudukkan di bawah ego dan kepentingan kelompok. Meski menggunakan dalih untuk memperjuangkan nilai-nilai etik yang universal (keadikan, kemanusiaan) atau miisi suci teologis sekalipun (atas nama agama) kalau mengedepankan semangat ego kelompok yang parokial dan segmented maka ujungnya akan mengorbankan integritas kebangsaan dan keutuhan negara. Dalam konteks kekinian hal ini terlihat pada konflik yang terjadi di Sudan, Aghanistan, Suriah.
Sebaliknya, setajam apapun perbedaan dan sekuat apapun tarik menarik kepentingan kalau masing-masing pihak lebih mengedepankan kearifan, mampu mengikis ego kelompok kemudian mendudukkan dalam kepentingan bersama yang lebih luas maka integritas dan keutuhan bangsa akan tetap bisa dipertahankan.
Kita bisa bercermin pada sikap orang Jawa yang merelakan diri menerima bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Nasional, padahal Jawa merupakan mayoritas di negeri ini.
Demikian juga kearifan ummat Islam yang bersedia menerima NKRI sebagai bentuk negara dengan dasar Pancasila, padahal ummat Islam adalah mayoritas. Tanpa adanya kearifan seperti ini saya yakin NKRI tak akan berdiri dan bisa eksis samai saat ini.
Kearifan ini tidak saja bisa mengintagrasikan keberagaman dan mengkompromikan kepentingan, tetapi juga membuat bangsa ini menjadi kreatif dalam menafsirkan dan menghadapi realitas.
Sebagaimana yang terjadi pada ummat beragama di negeri ini yang melakukan tafsir kreatif atas ajaran dan doktrin agamanya untuk menafsirkan Pancasila, sehingga bangsa ini memiliki daya lenting (resilience) dan daya lentur (suspention) dalam menghadapo berbagai tantangan.
Menghadapi konflik dan tarik menarik manarik kepentinganyang tercermin dalam kontroversi UU Omnibus Low saat ini kita bisa bercermin dari sejarah bangsa ini untuk menentukan pilihan.
Apakah kita akan memilih pola Mataram. Artinya masing-masing pihak akan tetap bertahan pada ego dan kepentingan kelompok, dengan terus mengobarkan permusahan dan membuat kerusuhan yang dilanjutkan dengan saling tuding di hadapan publik.
Kemudian masing-masing mengundang kekuatan dari luar untuk mendukung kepentingannya hingga akhirnya negeri ini harus dipecah-pecah demi kepentingan masing-masing kelompok. Dan setelah itu, masing-masing kelompok menyerahkan kedaulaatannya pada pihak luar sebagai balas jasa atas dukungan yanag diberikan.
Atau sebaliknya, masing-masing menahan diri, melepas ego kelompok kemudiaan didudukkan diatas kepentingan bersama warga bangsa Indonesia, seperti yang telah dicontohkan oleh para pemuda Indonesia dan pendiri bangsa?