EDITOR.ID – Jakarta, Demo menolak UU Omnibus Law (UU Ciptakerja) yang berakhir rusuh di beberapa tempat, telah berujung pada penangkapan sejumah aktivis yang selama ini bersuara lantang menolakkebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat.
Beberapa diantara mereka adalah para pimpinan KAMI (Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia) baik yang ada di Jakarta maupun di Medan. Diantaranya Syah Ganda Nainggolan, Jumhur Hidayat Kinkin dan Anton Permana, aktivis KAMI Jakarta, Juliana, Devi, Khairil Amri, dan Wahyu Rasari Putri, aktivis KAMI Medan.
Penangkapan para pimpinan dan aktivis KAMI ini menyulut sikap saling tuding antara pemerintah dan aparat di satu pihak dengan pengrus KAMI di pihak lain, hingga memancing perdebatan panjang di masyarakat.
Melalui bukti-bukti awal yang ditemukan, aparat menuding mereka yang ditangkap adalah provokator dan dalang kerusuhan yang menyebabkan terjadinya anarkhisme dan perusakan saat demonstrasi menolak UU Omnibus Law. Tindakan anarkhis itu tidak hanya merusak fasilitas publik tetapi juga menimbulkan luka fisik di kedua belah pihak.
Karena sudah menjurus pada tindakan kriminal maka aparat bertindak tegas melakukan penangkapan pada beberapa orang yang dianggap terlibat.
Menanggapi tindakan tegas aparat yang melakukan penangkapan pada para aktivis, Dewan Presidium KAMI mengeluarkan pernyataan yang isinya memprotes tindakan aparat dan menuding pemerintah telah melakukan tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom dan pendukung rakyat.
Selain itu mereka juga menuding penerapan UU ITE sebagai dasar penangkapan para aktivis KAMI adalah tindakan yang tidak adil karena ada banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujaran kebencian berunsur sara yang bisa memancing kerusuhan, tidak ditangkap dan ditindak tegas.
Sikap saling tuding ini merupakan bentuk terjadinya tarik menarik kepentingan dari berbagai kubu yang sedang bermain.
Dalam perspektif Piere Bourdieu, apa yang yang terjadi merupakan bentuk pertarungan kapital dalam ranah politik. Menurut Bourdieu (1986), agar seseorang atau kelompok memiliki prestise yang bisa diterima masyarakat sehingga bisa dijadikan sebagai modal kultural dan simbolik dalam pertarungan di ranah politik maka harus bisa membawa simbol kekuasaan yang mewakili pendapat dan kepentingan umum.
Simbol kekuasaan yang diperebutkan, baik oleh pamerintah maupun KAMI, di sini adalah kepentingan rakyat, kedaulatan bangsa dan keutuhan negara.
Dalam konteks sejarah Nusantara, tarik menarik kepentingan ini akan berujung pada dua bentuk yang saling berseberangan yaitu pembagian kapling kekuasaan yang ditandai dengan perpecahan negara untuk diserahkan pada masing-masing pihak yang berkonflik dan kompromi dan integrasi dimana masing-masing pihak melakukan kompromi sehingga negara atau masyarakat tetap untuh dan kembali memperjuangkan nilai-nilai yang disepakati secara bersama-sama.