EDITOR.ID – Jakarta, Fakta bahwa RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) tidak segera diagendakan ke sidang Paripurna walau sudah diajukan oleh Pimpinan Baleg sejak tanggal tanggal 15 Juli 2020, merisaukan aktivis perempuan dan HAM.
Pada Hari Senin (6/9/21) sore Komnas Perempuan – Jala PPRT – Institut Sarinah dan JalaStoria mengadakan audiensi secara daring kepada PBNU untuk meminta dukungan PBNU agar proses pembahasan RUU PPRT bisa bergerak maju.
Adiensi dihadiri oleh Wasekjen PBNU Dr Imdadun Rahmat, Ketua dan Sekretaris Lakpesdam NU Dr Rumadi Ahmad dan Marzuki Wahid, MA serta Pengurus Fatayat NU Riri Khariroh dan beberapa pengurus Lakpesdam lainnya.
Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan (KP) mempresentasikan poin-poin penting RUU PPRT yang sudah 17 tahun diperjuangkan untuk disahkan karena alasan kemanusiaan, keadilan, dan ekonomi.
?Draft RUU sangat moderat dan bukan saja demi kepentingan perlindungan untuk PRT tetapi juga menjamin hak dan kepentingan pemberi kerja,? kata Iswarini.
Dr Rumadi Ahmad kemudian mempertanyakan kemungkinan overlap dengan UU Tenaga Kerja.
?Tidak overlap karena RUU ini terkait ekonomi Rumah Tangga, sektor informal. Apalagi Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO no 189 pada tahun 2011 terkait Pekerjaan Yang Layak termasuk bagi PRT yang hingga kini Indonesia belum membuat satupun UU untuk menindaklajutinya,? jelas Dr Ninik Rahayu dari JalaStoria.
Eva Sundari dari Institut Sarinah memberi penjelasan dari perspektif kewarganegaraan, bahwa hak PRT untuk diakui negara sehingga mereka mendapatkan hak entitlement terhadap resources.
?Pandemi telah memukul warga miskin termasuk PRT sehingga negara harus memberikan perlindungan melalui rekognisi mereka dalam UU. Apalagi PRT berkontribusi nyata pada produktifitas nasional melalui pelayanan jasa di sektor domestik,? kata Eva Sundari yang merupakan anggota DPR FPDIP 2014-2019.
Ari Ujianto dari Jala PRT kemudian menepis kecurigaan dampak buruk RUU ini terhadap prinsip gotong royong dan local wisdom masyarakat Indonesia.
?Relasi kerja berdasar kesepakatan atau musyawarah antar masing-masing pemberi kerja dan pekerja sebagaimana praktek selama ini. Sehingga tidak berlaku bagi santri di ponpes, atau orang ngenger yang tidak menerima bayaran. Kami mengusulkan perlindungan dua belah pihak terutama akses untuk menjadi peserta asuransi tenaga kerja dan kesehatan bagi PRT,? terang Ari Ujianto.
Hal tersebut diamini oleh dua PRT yang ikut hadir dalam audiensi, Dewi Korawati dan Susi Susmiharti.
?Kami mau bisa ikut asuransi BPJS dan Jamsostek pak? saya ini di PHK lewat telpon setelah 5 tahun bekerja,? kata Dewi Korawati.
Sementara Susi Susmiharti menjelaskan bahwa dia bekerja tidak sesuai kontrak, yang harusnya dari jam 8 sampai jam hingga jam 12 tetapi faktanya hingga jam 4 atau 5 sore dengan bayaran sama.
?Ketika satu PRT pulang, semua beban pindah ke saya sementara anggota keluarga jumlahnya 10 orang,? keluh Susi.
Marzuki Wahid menyatakan bahwa RUU PPRT jelas terkait kepentingan para Nahdiyin sehingga tidak ada alasan untuk tidak mendukung.
?Kita tinggal mendalami dalil-dalil yang relevan dan kuat sebagai argumen untuk memberikan dukungan,? jelas Marzuki.
WaSekjen PBNU kemudian menuliskan responnya melalui kolom chat karena sedang dalam perjalanan ke Cirebon bahwa beliau akan menjajaki peluang pemberian dukungan ke RUU PPRT dalam bentuk rekomendasi di Munas NU mendatang (beliau sebagai Ketua Panitia) setelah yerlebih dulu mendapat persetujuan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU.