Penguasa Jagad Raya, nampaknya masih sayang terhadap rakyat AS, menyelamatkannya dari cengkraman arogansi Trump yang mulai terpapar virus kekuasaan menyimpang. Dimana, ia lebih asyik dengan urusan dirinya sendiri daripada urusan orang lain. Bahkan, Mary Trump, menyebut pamannya tersebut sebagai pribadi curang dan kejam, seperti dalam buku Too Much and Never Enough: How My Family Created the World’s Most Dangerous Man.
Akhirnya, Pilpres AS memberi pembelajaran maha penting, bahwa memilih pemimpin tak bisa hanya mengacu pada popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas yang tinggi, akan tetapi juga harus mempertimbangkan personalitas yang berbudi pekerti luhur. Tegasnya, menjadi pemimpin itu merupakan maqom kemanusiaan tertinggi, yang menuntut bekerja di atas standart ekspektasi manusia pada umumnya. (AH)