Runtuhnya Wahyu Keprabon Trump

Sungguh, manuver Trump meningkatkan tensi politik dan keamanan di AS. Aksi protes terjadi dimana-mana, sampai ada aksi demo dengan membawa senjata otomatis dengan mengepung tempat penghitungan suara di Arizona. Tentu, demo seperti ini bisa memicu kekerasan tak ubahnya gaya preman atau bahkan teroris yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, hatta penggunaan kekerasan yang dilaknat dalam sistem demokrasi.

Trump tak mau mengakui kemenangan Biden yang telah mengantongi 290 electoral collage, ia tetap mangancam tak akan mau keluar dari gedung putih. Ia akan membentengi diri untuk bertahan disana. Secret Service US President atau Paspanpres AS pasti berhadapan dengan bodyguard Trump dan pendukung yang ngotot ingin tetap bertahta, walau realitas politik hasil pemilu, ia bukan lagi presiden AS.

Terus terang, manuver Trump ini di luar tradisi adiluhur AS yang dianut beradab-abad lamanya. Calon yang kalah biasanya dengan gentlemen mengucapkan “selamat” terhadap presiden terpilih. Ia pun mendukung transisi kekuasaan dengan aman dan damai demi menjaga integritas nasional AS. Bila drama politik ini tak segera diakhiri, maka pasti, pemilu kali ini akan menyerat AS di ambang pintu “perang saudara”.

Gaya politik Trump di atas meruntuhkan wahyu keprabon dirinya, sekaligus kuil akal publik AS. Bahwasannya jabatan setinggi apa pun, termasuk jabatan presiden sekalipun, kata Gus Dur, tak bisa menjadi alasan untuk menumpahkan darah manusia. Sebab, kemanusiaan itu di atas segalanya. Nilai luhur rasionalitas dan humanitas tersebut, sepertinya akan dikorbankan demi melanggengkan kekuasaannya, tak peduli sikapnya menimbulkan kekacauan politik dan keamanan AS.

Trump terkena sindroma politik Prancis pra revolusi, dimana Raja Louis XIV seringkali berulang-ulang mengucapkan L’Etat c’est moi (negara adalah saya) di hadapan anggota parlemen di Paris. Ia tak ubahnya Raja Louis yang merasa dirinya adalah negara AS itu sendiri. Padahal, akal sehat mengajarkan bahwa kepentingan negara di atas kepentingan penguasa itu sendiri. Sebab, di negara demokratis, kultus individu dan personifikasi negara pada seorang tokoh, diganti dari strongman dengan strongsystem dalam mengelola pemerintahan.

Keputusan rakyat AS sudah sangat benar, lebih mendukung Biden daripada Trump. Ternyata, ia membangkitkan mitologi penguasa kuno, bahwa pemimpin itu “titisan dewa” yang mendapatkan wahyu keprabon untuk memerintah bumi manusia atas nama kerajaan Tuhan. Bahkan bisa-bisa seperti penguasa besar masa lalu, mengaku dirinya sebagai Tuhan, seperti Firaun dan Namrud yang merasa dirinya adalah ana rabbakumul a’la (saya tuhanmu yang tertinggi) dalam kisah quranik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: