EDITOR.ID, Jakarta,- Proses pembaruan hukum telah berlangsung secara dinamis di Indonesia. Upaya pembaruan hukum ini ditujukan utamanya agar hukum dapat lebih adaptif mengikuti perkembangan dan dinamika di masyarakat sekaligus memberikan akses dan perlindungan yang memadai utamanya bagi kelompok rentan.
Untuk mendapatan masukan dari Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), pimpinan Komisi III DPR RI, Kamis siang tadi (2/5/2022) mengundang Ketua Umum Peradi Luhut MP Pangaribuan dan jajaran pengurus Peradi.
Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Peradi Luhut dalam rangka memberikan masukan terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Perdata.
Bertempat di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, lantai 1, rapat RDPU dengan Peradi dihadiri antara lain Ketua Umum DPN PERADI Dr. Luhut MP Pangaribuan SH, LLM, kemudian Ketua Tim Penyusun Pokok ? Pokok Pikiran dan Rekomendasi PERADI Terhadap RUU Hukum Acara Perdata, Emir Pohan, SH, LLM. Kemudian Dr. Stefanus Roy Rening, SH., MH. yang merupakan Wakil Ketua Umum dan M Daud B sebagai Wakil Sekjen.
Ada sedikitnya 6 rekomendasi yang disumbangkan Peradi dalam RDPU dengan Komisi III DPR untuk menyempurnakan khazanah RUU Hukum Acara Perdata.
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai organisasi profesi advokat dan juga sebagai bagian dari komunitas hukum di Indonesia memandang bahwa proses pembaruan hukum perlu melibatkan sebanyak mungkin kelompok-kelompok masyarakat terutama mendengarkan masukan dan rekomendasi dari kelompok masyarakat yang paling terdampak dari sebuah aturan yang akan diundangkan oleh pemerintah dan DPR.
Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, advokat, memiliki peran kunci untuk mendorong pembaruan hukum yang modern, transparan, akuntabel, dan juga disusun secara demokratis di Indonesia. Dalam proses pembaruan hukum acara perdata, advokat mendorong berbagai penemuan dan metode hukum baru untuk melindungi kepentingan masyarakat melalui berbagai gugatan di Pengadilan. Sebagai contoh, gugatan perwakilan kelompok, hak gugat LSM, dan hak gugat warga Negara adalah sebagian dari metode ? metode hukum baru yang diperkenalkan oleh advokat di Pengadilan.
Organisasi Advokat juga turut mewarnai pembentukan hukum di Indonesia khususnya mengenai hukum acara, misalnya dalam konteks pembentukan Kitab Undang ? Undang Hukum Acara Pidana. PERADI secara khusus, bersama ? sama dengan kelompok masyarakat lain, juga turut memberikan rekomendasi dan masukan terhadap RUU KUHAP yang telah menjadi usul inisiatif DPR RI.
Khusus untuk RUU Hukum Acara Perdata yang sedang dibahas antara Pemerintah dan DPR, PERADI memberikan 6 rekomendasi kunci mengenai RUU Hukum Acara Perdata
Pertama mengenai perlindungan warga Negara
RUU HAPER telah mengatur mengenai gugatan perwakilan kelompok dan gugatan organisasi kemasyarakatan. Namun RUU HAPER belum mengatur mengatur mengenai hak gugat warga Negara (citizen law suit) yang telah lama dikenal dan dipraktikkan sejak adanya kasus pekerja migran Indonesia di Nunukan. Selain itu PERADI meminta agar syarat bukti pendaftaran organisasi untuk dapat megajukan hak gugat lsm (legal standing NGO) dihapus. Terakhir, PERADI meminta agar ada pengaturan lebih rinci mengenai prosedur gugatan perwakilan kelompok
Kedua mengenai alat bukti
PERADI memandang jika masih terdapat kekurangan dalam sistem pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia, terutama untuk permasalahan mengenai (a) Pengumpulan alat bukti (collection of evidence); (b) Pengamanan alat bukti (preservation of evidence); dan (c) Penerimaan alat bukti (admissibility of evidence).
PERADI meminta agar para pihak yang berperkara dapat mengajukan permohonan ? permohonan khusus kepada Pengadilan terkait pengumpulan alat bukti, pengamanan alat bukti, dan juga penerimaan alat bukti oleh para pihak yang berperkara
Ketiga mengenai penyangkalan pemberian kuasa
PERADI meminta agar penyangkalan pemberian kuasa perlu dihapus, selain sudah diatur dalam UU Advokat juga diatur secara khusus dalam Kode Etik Advokat Indonesia.
Keempat mengenai Lembaga Penyanderaan (Gijzeling)
PERADI mengingatkan bahwa Indonesia terkait dengan berbagai Kovenan dan konvensi internasional mengenai hak asasi manusia yang pada pokoknya melarang adanya penyanderaan ataupun penahanan dalam perkara ? perkara perdata. Untuk itu, PERADI meminta agar lembaga penyanderaan ini dihapuskan dalam RUU Hukum Acara Perdata
Kelima, mengenai upaya perdamaian (mediasi)
PERADI meminta agar ada pengaturan rinci mengenai mediasi dengan mempertimbangan Peraturan MA mengenai mediasi yang telah ada. Dengan pengaturan yang lebih baik mengenai mediasi, PERADI berkeyakinan bahwa penyelesaian suatu perkara dapat berlangsung secara lebih cepat, efisien, dan juga efektif
Keenam, perihal pelaksanaan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Perlu pengaturan yang komprehensif melalui RUU HAPER mulai dari pengajuan permohonan aanmaning, penelaahan permohonan, Pemanggilan termohon aanmaning dan penetapan eksekusi, mekanisme pengamanan dan biaya keamanan eksekusi, eksekusi groose akta.
Untuk mengunduh dokumen2 terkait RUU Hukum Acara Perdata dan Rekomendasi PERADI dapat diunduh melalui link berikut https://peradi.id/6-rekomendasi-kunci-peradi-terhadap-ruu-hukum-acara-perdata/ (tim)