Presiden Joko Widodo (tengah) menjamu enam pimpinan partai koalisi pemerintah, Senin 23 Juli 2018 di Istana Bogor. ( Foto: Twitter @Jokowi )
EDITOR.ID, Jakarta,– Hingga kini para pendukung Presiden Joko Widodo dua periode dibuat gemes dan rasa penasaran mengenai sosok calon wakil presiden pendamping Jokowi. Pasalnya, meski parpol koalisi sudah ada yang tahu siapa “calon pengantin”nya mereka berusaha merahasiakan. Akhirnya cawapres Jokowi masih terus menjadi teka-teki.
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, nama bakal Cawapres Jokowi sebenarnya sudah ada. Tetapi ada dua alasan yang mengharuskan Jokowi belum mengumumkan secara resmi.
“Pertama, ya memang secara startegi politik enggak ada urgensinya juga disampaikan sekarang,†kata Arsul saat dihubungi, Sabtu, (4/8/2018).
Alasan kedua, lanjut anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini adalah sikap hati-hati Jokowi mengamati konfigurasi yang terjadi. Kemungkinan negatif ada kekuatan baru yang nanti membentuk poros ketiga di luar barisan koalisi yang tampak saat ini, atau ada yang bergabung ke pendukung Jokowi.
“PPP kan memberikan masukan kepada Pak Jokowi untuk mengantisipasi segala kemungkinan, baik ada yang baru masuk ke koalisi atau kalau ada yang tiba-tiba keluar,†katanya.
Arsul membantah jika pernyataan ini menunjukan tidak solidnya enam parpol yang mendukung Jokowi. Hanya saja dalam politik, wajar jika mengantisipasi segala kemungkinan buruk.
“Kami tetap solid. Hanya dalam politik kan semua kemungkinan perlu diantisipasi,†katanya.
Sementara politisi PDIP, Aria Bima menyebutkan, koalisi Joko Widodo (Jokowi) melakukan gerakan tutup mulut terkait sosok cawapres Jokowi. Hal tersebut karena saat ini di kubunya tidak lagi membahas soal cawapres dan yang akan menyampaikan nantinya adalah Jokowi sendiri.
“Tidak ada masalah (soal cawapres), cuma waktunya semua gerakan tutup mulut, cuma Presiden nanti (yang bicara),” ujar Aria di Gedung DPR, Senin (6/8/2018).
Ia mengatakan, dengan adanya dinamika saat ini, seperti salah satunya adalah soal para ulama PBNU yang menginginkan Ketua Umun PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tetap menjadi cawapres Jokowi dan ancaman mencabut koalisi jika tak dipilih Jokowi sebagai cawapres menunjukkan bahwa tensi politik sedang tinggi.
Menurutnya, tarik-menarik itu sangat kuat sehingga platform dari masing-masing partai pendukung pemerintah pengusung Jokowi ini harus lebih dikuatkan dan lebih substansial.
Menurutnya, jika ada yang memaksakan salah satu tokoh untuk menjadi cawapres, maka tokoh lainnya juga pasti ada yang ingin memaksakannya. Contohnya seperti Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto atau tokoh lainnya seperti Moeldoko atau Mahfud MD.
“Saya berharap keinginan para kiai itu bagus lebih pada substansi-substansi, narasi besar pemerintahan Jokowi. Para kiai yang lain juga tahu kok bahwa dalam pemerintah Jokowi ini ada tujuh menteri dari kader NU (Nahdlatul Ulama). Jadi lebih bagus semua cooling down,” terangnya.
Apabila semua partai koalisi mengancam, katanya, maka itu tidak baik sebab tidak akan semua terakomodasi mengingat nama cawapres hanya satu. Jika terus memaksakan kehendak, katanya, maka bisa saja koalisi malah pecah.
“Itu sudah disepakati dalam pertemuan-pertemuan, termasuk Cak Imin. Beliau, juga sangat memahami keinginan para kiai, ingin kader PKB jadi cawapres tetapi mekanisme keputusan presiden dikonsultasikan dengan para partai pengusung,” katanya.
Ia pun menegaskan, otoritas wapres benar-benar berada di tangan Jokowi dan dikonsultasikan dengan para partai politik pengusung. (tim)