Untuk menjadi seorang profesor di sebuah universitas luar negeri, Stella mengaku harus bekerja keras. Selain itu, ia juga mesti bersabar dalam menunggu masa uji sampai ia layak disebut profesor.
“Layaknya pemain baru Champions League berlatih keras untuk bertahan di klub impian, profesor di tahun-tahun awal berkeringat memajukan penelitiannya,” ungkap Stella.
Bahkan karena ‘penampakannya’ tidak identik seperti profesor pada umumnya, orang tua mahasiswanya sempat mengira Stella adalah teman kuliah dari anaknya.
Berikut secuil tulisan Stella yang berjudul “Menjadi Profesor: Pembelajaran Seumur Hidup” menggambarkan pengalaman itu, dikutip dari Indonesia Mengglobal:
Siang setelah upacara wisuda, ibu seorang murid/wisudawan bertanya pada saya, “Apa rencana Anda setelah lulus?”
Sang murid dengan tersipu menjelaskan, “Bu, ini Profesor saya…” Saya senyum maklum, pertanyaan dan perkiraan ini sudah umum. Mungkin karena saya berkaca-mata tapi belum beruban, dan juga perempuan-tak cocok dengan gambaran khas seorang profesor.
Ahli di Bidang Ilmu Kognitif
Sosok Stella adalah ahli di bidang cognitive science atau ilmu kognitif. Bidang tersebut mempelajari cara kerja otak hingga manusia berpikir.
“Saya adalah ilmuwan bidang cognitive science, adalah mempelajari bagaimana kita berpikir, jadi tentang otak dan cara pikiran yang memasukkan manusia, hewan, artificial intelligence (AI),” ucapnya.
Stella banyak melakukan penelitian seputar cara kerja otak hingga relasinya dalam hal sosial. Menurutnya, manusia cerdas karena mampu berpikir secara relasional.
Ia juga merupakan pengamat psikologi kognitif manusia. Ia mempelajari bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan dan ilmu.
Menurut Stella, kemampuan manusia sangat luar biasa dan tak bisa dikalahkan oleh AI. Di tengah gempuran AI, Stella mengimbau masyarakat untuk tidak terlalu khawatir terhadapnya.
“Dari penelitian yang saya lakukan, kecerdasan buatan itu sebenarnya tidak lebih pintar dari bayi berusia dua tahun,” tegasnya dikutip dari laman Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Ia mengingatkan bahwa kecerdasan buatan juga diciptakan manusia. Ia yakin AI tak akan menggantikan peran manusia dalam pekerjaan, pendidikan, dan hal lainnya.
Berikut beberapa kajian dan hasil penelitian yang sudah Stella publikasikan:
- Christie, S. (2017). Pemetaan struktur untuk pembelajaran sosial. Topik dalam Ilmu Kognitif, 9, 758-775
- Christie, S., Gentner, D., Call, J., & Haun, D. (2016). Kepekaan terhadap kesamaan relasional dan kesamaan objek pada kera dan anak-anak. Current Biology, 26(4), 531-535
- Noyes, A. & Christie, S. (2016). Anak-anak lebih menyukai sampel yang beragam untuk penalaran induktif dalam ranah sosial. Perkembangan Anak, 87(4), 1090-1098
- Christie, S. & Gentner, D. (2014). Bahasa membantu anak-anak berhasil dalam tugas analogi klasik. Cognitive Science, 38(2), 383-397
- Christie, S. & Gentner, D. (2010). Asal hipotesis: Mempelajari hubungan baru melalui penyelarasan struktural. Jurnal Kognisi dan Pengembangan, 11(3), 356-373. Penghargaan Pilihan Editor 2010 untuk Artikel Terbaik.
Riwayat Pendidikan Stella Christie
Berikut riwayat pendidikan Stella Christie seperti dilansir dari laman Indonesia Mengglobal dan Swarthmore College:
- TK-SMP: Santa Ursula Jakarta
- SMA: International Baccalaureate (IB, setingkat SMA) di Norwegia
- S1: BA dari Harvard University dengan magna cum laude with highest honors
- S2-S3: Northwestern University, PhD in Cognitive Psychology. (tim)