Walaupun tidak ada survei ketika itu, namun ada semacam keyakinan bahwa saat itu, kelompok abangan lebih besar dari santri.
Buktinya adalah bahwa di dalam Pemilu 1955, pemenangnya adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Di Jawa, partai yang dominan ketika itu adalah PNI dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara partai Islam Masyumi, dominan di luar Jawa, terutama di Sumatera.
Kalau dikatakan bahwa pada tahun 40-an dan 50-an, abangan yang beririsan dengan priyayi besar sementara sekarang santri yang dominan, artinya terjadi perubahan, lanjut Saiful.
Artinya, studi antropolog seperti yang dilakukan Bambang Pranowo terkonfirmasi, bahwa terjadi santrinisasi di Jawa.
Pendiri SMRC tersebut menambahkan bahwa di zaman Orde Baru, ada pemaksaan bagi semua warga untuk mencantumkan nama agama di KTP. Kelompok abangan juga sebelumnya identik dengan PKI, sementara di zaman Orde Baru, PKI dilarang.
Karena itu terjadi perubahan. Banyak yang kemudian berpindah dari abangan dan sekarang mengaku dirinya adalah santri dan mungkin semakin banyak yang kemudian melakukan praktik-praktik keagamaan santri.
“Sebutlah dulu abangan itu besar, dan sekarang tinggal 22,3 persen, berarti terjadi perubahan yang cukup penting,” jelas penulis buku Muslim Demokrat tersebut seperti dikutip dari siaran pers.
Namun demikian, lanjut Saiful, walaupun terjadi santrinisasi secara kultural, secara politik yang terjadi bukan politik santri.
Saat ini, kalau memakai konsep lama tentang partai, di parlemen hanya ada dua partai yang eksplisit menyebut dirinya sebagai partai Islam, yakni PKS dan PPP.
Gabungan keduanya hanya sekitar 13 persen. Sementara pada Pemilu 1955, gabungan Partai NU dan Masyumi sekitar 40 persen.
“Santrinisasi terjadi secara kultural dan sosial, tapi secara politik tidak. Secara kultural, masyarakat Muslim Jawa semakin santri, tapi soal politik, beda lagi.” jelasnya.
Saiful mencontohkan sekarang banyak kader PDIP yang memakai jilbab. Bahkan Ganjar Pranowo yang sekarang populer menjadi calon presiden dan merupakan kader PDIP juga nampak seperti santri. Istri Ganjar sendiri berasal dari keluarga santri.
“Terjadi sekularisasi politik, (di mana warga) mendiferensiasi wilayah politik dan agama. Orang, ketika memperjuangkan kepentingan publik, bicara lebih inklusif dan tidak eksklusif untuk kepentingan agama tertentu, tapi kepentingan warga negara. Tidak identik antara santrinisasi dengan politisasi atau santrinisasi politik.” lanjutnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kenyataan bahwa ada masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai santri, abangan, dan priyayi ini penting secara elektoral?