Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) beranggapan Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Mena) terbaru terkait pengaturan toa pada dasarnya bermaksud mengharmonikan cara beragama di tengah era disrupsi.
“SE ini bukan barang baru, kan dari tahun 2018 sudah ada. Itupun kelanjutan dari tahun 78. Mestinya kita berprasangka baik dengan Menteri Agama saat ini. Sebagai seorang Muslim, saya kira gagasan Gus Yaqut ini membuktikan bahwa beliau benar-benar sebagai menteri semua agama,” ungkap Sekjen DPP GMNI Sujahri Somar dalam keterangannya, Minggu (27/2).
Polemik ini, diketahui telah berujung pada redaksi kalimat dalam video yang tengah beredar luas di media sosial. Mengenai hal tersebut, Sujahri menambahkan kalau itu merupakan ulah oknum yang sengaja ingin menyudutkan Gus Yaqut.
“Redaksi itu kan sudah jelas, hanya saya melihat ada yang sengaja mengedit dan memviralkannya. Coba dilihat, di mana letak Gus Yaqut menyamakan azan dengan suara anjing? Kan tidak ada. Itu kalau misalkan video lengkapnya kita tuliskan dengan kaidah Bahasa Indonesia yang tepat, maka ada namanya oase atau tanda koma, misalnya pada struktur kalimat. Saya kira teman-teman media pasti lebih paham. Jadi, redaksi pertama justru menerangkan maksud SE, kemudian redaksi kedua oase mencontohkan konteks suara dengan mayoritas bukan Islam, dan redaksi oase selanjutnya Gus Yaqut menjaskan contoh paling sederhana tentang suara anjing,” jelas Sujahri.
“Loh, mengapa bisa dibuat blunder dari redaksi pertama langsung loncat ke redaksi terakhir? Pastinya mau menyudutkan, melakukan simplifikasi terhadap redaksi utuh dalam video itu,” tambah Sujahri.
Sampai berita ini diturunkan, polemik SE No. 05 Tahun 2022, masih terus bergulir di media masa. Sujahri berharap dari kejadian ini agar masyarakat Indonesia semakin menumbuhkan minat literasi, khususnya literasi digital.
“Situasi ini ada hikmahnya tersendiri, salah satunya jadi bahan evaluasi bagi kita semua. Literasi digital masih perlu terus digaungkan, pemerintah sudah harus melakukan edukasi yang tepat sasaran dari program-program edukasi cerdas bermedsos yang sudah dilakukan. Apalagi kita semakin menuju Revolusi 5.0, era dimana fisik dan digital semakin rekat. Indonesia, dengan Pancasila, dengan adat, adab nusantara harus lebih siap. Mungkin kedepan, akan ada lagi fenomena serupa dengan latar berbeda, kita mesti siap,” tutup Sujahri.