Oleh Edi Winarto
Penulis Adalah Jurnalis, Praktisi Hukum
Polemik antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait status “mantan napi koruptor” dalam Pemilihan Legislatif menarik untuk dicermati. Masing-masing institusi penyelenggara Pemilu yang seharusnya saling melengkapi ini justru terjebak dalam perbedaan memahami substansi hukum.
Kontroversi muncul berawal ketika Bawaslu meloloskan 12 mantan napi koruptor sebagai calon anggota legislatif dan calon senator Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2019 mendatang.
Bawaslu berpegangan pada Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang persyaratan seseorang menjadi caleg. Di sana disebutkan seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana.
Sedangkan KPU hingga hari ini masih enggan menjalankan keputusan Bawaslu, karena tetap berpegang pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang persyaratan pencalonan DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD. Dimana salah satu pasalnya melarang mantan napi koruptor untuk maju dalam pemilu.
Bawaslu tetap bersikukuh dengan pandangannya bahwa mantan napi koruptor boleh menjadi caleg pada Pemilu 2019. Bawaslu memiliki argumen bahwa selain bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, PKPU juga tidak sejalan dengan pasal 28D Undang-Undang Dasar yang memberikan hak kepada setiap warga negara menjadi penyelenggara negara.
Secara hierarki hukum, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 memang jauh dibawah tingkatan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Pemilu. Namun menurut hemat penulis, aturan dalam PKPU ini bisa menjadi terjemahan dari semangat UU dan sifatnya melengkapi UU.
Penulis berpendapat, terobosan hukum KPU dalam upaya menghadirkan politisi yang clean dengan PKPU “pelarangan mantan napi koruptor nyaleg” merupakan upaya positif dalam menawarkan kepada publik calon wakil rakyat yang tidak memiliki jejak rekam yang kurang bagus. Hal ini dalam rangka menjaga marwah norma, etika dan integritas.
Pasal 4 Ayat 3 PKPU disebutkan, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Kemudian, dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf e diyatakan bahwa pimpinan parpol sesuai tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3.
Formulir pakta integritas berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan.
PKPU yang melarang mantan napi korupsi menjadi caleg merupakan tafsiran progresif KPU terhadap UU Pemilu dengan tujuan mendapatkan hasil pemilu yang lebih baik.
Menurut penulis, integritas Pemilu didasarkan oleh tiga hal, yakni penyelenggara, pemilih, dan peserta. Sehingga, aturan teknis yang dibuat KPU melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg adalah bagian dari seleksi awal menghadirkan caleg yang berintegritas dan dipercaya publik. Jadi PKPU itu menurut penulis sudah sangat tepat.
Hanya saja, poin integritas peserta Pemilu atau caleg secara teknis dan detail belum diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Tapi ini bukan menjadi kendala untuk membuat Pemilu, terutama calon wakil rakyat yang dihasilkan nantinya kurang berkualitas.
Dalam teori hukum, penyelenggara negara dalam hal ini penyelenggara Pemilu atau KPU boleh melakukan terobosan hukum. Tentu dengan syarat frasa baru itu dilandasi oleh tujuan dan niat yang baik, punya manfaat dan menyerap aspirasi yang ada dimasyarakat. Frasa itu juga dibuat tidak bertentangan dengan asas dasar UU dan sifatnya melengkapi.
Peraturan yang dibuat KPU melarang mantan napi koruptor maju sebagai caleg bukan tanpa dasar. PKPU Nomor 20 Tahun 2018 merupakan salah satu upaya menjawab runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi dewan dengan mencuatnya banyak kasus korupsi belakangan ini.
Kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan rakyat belakangan ini sudah pada titik nadir yang sangat rendah setelah mencuatnya sejumlah kasus korupsi massal yang dilakukan anggota Dewan. Diberbagai daerah bermunculan kasus korupsi dilakukan anggota dewan baik DPR RI maupun DPRD.
Di tingkat DPR RI ada skandal kasus besar e-KTP dan korupsi pembangunan PLTU Riau. Sedangkan di daerah muncul kasus korupsi massal anggota DPRD Sumatera Utara menjadi tersangka korupsi karena terseret oleh suap pembahasan anggaran.
Kemudian muncul lagi kasus 41 dari 45 anggota dewan di kota Malang ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat suap dalam proses pembahasan RAPBD.
Keresahan masyarakat melihat perilaku korup para anggota dewan merupakan sebuah problema yang harus dijawab bangsa ini. Oleh karena itu, niat dan tujuan baik KPU menseleksi lebih awal para calon anggota dewan berdasarkan integritas dan jejak rekamnya patut mendapat dukungan. Termasuk dalam menerbitkan aturan persyaratan sebagai langkah awal memagari dan menyajikan wakil rakyat sesuai harapan rakyat.
Maka sebuah terobosan hukum perlu dibuat. Dan menurut hemat penulis, penyelenggara seleksi pejabat publik darimanapun punya kewenangan mensyaratkan etika dan moral.
Ambil contoh, untuk maju menjadi calon hakim (yudikatif), seseorang harus memenuhi syarat salah satunya ia memiliki jejak rekam yang bersih. Bukti itu diwujudkan dari surat keterangan pengadilan yang menjelaskan bahwa si calon belum pernah atau tidak pernah tersangkut hukum dengan ancaman pidana lima tahun.
Tidak sedikit peserta pemilu yang pernah terbukti terlibat tindak pidana korupsi atau mantan narapidana korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat sedikitnya 59 anggota DPR/D terpilih dalam Pemilu 2014 berstatus hukum tersangka, terdakwa, atau terpidana korupsi. Dan dari terpidana korupsi tersebut ternyata ada yang dipilih oleh rakyat dan kini duduk sebagai anggota dewan.
Dan pada Pemilu 2019 nanti berpotensi akan ada 202 calon anggota legislatif yang pernah dijatuhi hukuman karena melakukan perbuatan korupsi. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, ada 202 bakal calon legislatif (bacaleg) yang merupakan mantan terpidana korupsi. Mereka tersebar di 12 provinsi, 97 kabupaten, dan 19 kota.
Ini menjadi sebuah ironi bagi pelaksanaan Pemilu di negeri ini yang dari tahun ke tahun selalu diupayakan menjadi lebih berintegritas. Sehingga ketika KPU menerbitkan PKPU yang salah satu isinya ada frasa “mantan napi koruptor” tidak bisa ditetapkan sebagai calon legislatif, harus dilihat sebagai tujuan yang baik untuk menghadirkan para wakil rakyat yang dipercaya dan berintegritas.
KPU merupakan lembaga mandiri dan independen dalam menyelenggarakan Pemilu. KPU juga punya kewenangan mengatur secara detil pelaksanaan Pemilu dengan landasan UU dan tujuan yang baik. Hal itu diwujudkan dengan penyusunan regulasi dan kewajiban moral menjaga integritas Pemilu.
Penulis juga kurang setuju jika ada anggapan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg membatasi hak asasi manusia. Karena sejak awal eks koruptor itu telah menerima haknya ketika menjadi tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Orang terpidana itu hak asasinya berbeda dengan orang biasa. Hak mereka sudah diberikan saat di pengadilan.
Disini KPU justru menerapkan peraturan yang adil dan tidak diskriminatif pada Pemilu 2019. Karena persoalan mendasar pada eks koruptor yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif adalah pada kepercayaan publik.
Mengutip pendapat Dr Artidjo Alkostar, mantan Hakim Agung Tipikor yang dikenal tegas menghukum pelaku korupsi. Artidjo berpendapat, secara etika tidak tepat orang yang terkena korupsi mencalonkan lagi. Alasan mendasarnya, jabatan dewan adalah pejabat publik. Jika calon anggota dewan itu pernah korupsi dengan jabatannya sebagai anggota DPR, apakah akan menjamin si calon itu nantinya tidak akan korupsi lagi pada jabatan yang sama.
Partai politik sebaiknya memberi kesempatan pada calon lain yang lebih kompeten dan berintegritas untuk maju sebagai anggota legislatif. Masih banyak calon anggota legislatif yang berkualitas di Indonesia. Secara etika itu lebih baik dengan memberikan prospek masa depan bangsa ini supaya tidak terbebani masa lalu. (***)