Memang, Haji Hendy-Gus Firjaun adalah pasangan bupati dan wakil bupati ideal, bahkan paling ideal dibandingkan dengan bupati dan wakil bupati sebelumnya dari segi usia dan pengalaman. Sebab, Haji Hendy berkuasa nanti saat dilantik pertengahan Februari 2021 berusia 60 tahun. Sementara, Ir MZA Djalal di usia 49 tahun dan dr Faida di usia 47 tahun pada saat mulai berkuasa.
Selain usia, pengalaman birokrasi Haji Hendy dan politik Gus Firjaun lebih panjang. Namun dari segi politis, kemenangannya paling kecil dari persentase, hanya 48,4 persen. Sementara Pak Djalal dan dr Faida masing-masing 58,55 persen dan 53,75 persen.
Target Haji Hendy memperoleh kemenangan 72 persen, tak tercapai. Ini cukup masuk akal, mengingat:
Pertama, kondisi pandemi COVID-19 yang membuat sebagian pemilih ketakutan dan memilih golput.
Kedua, musim hujan yang membuat sebagian pemilih malas datang ke TPS.
Ketiga, pertarungan sengit 3 pasangan calon, dalam memperebutkan jeruk purut massa pemilih yang sama. Sehingga, rekor persentase angka selama 20 tahun terakhir, masih belum terpecahkan dan tetap dipegang oleh Pak Djalal. Padahal di 19 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada di Jatim, ada yang mencapai di atas 70 persen, seperti Indrata Nur Bayu Aji 74,88 persen di Pacitan, Hanindhito Himawan Pramana 76,54 persen di Kabupaten Kediri, dan Ony Anwar 94,4 persen di Ngawi.
Lebih dari itu sebenarnya, semenjak pemilu 2009 sampai sekarang, tak ada satu pun partai politik yang meraih di atas 9 kursi. Ini menunjukkan, struktur elite dan massa penduduk Jember mengalami “fragmentasi sosial”. Era unifikasi politik santri pada 1999 dan 2004, runtuh bersamaan dengan konflik internal keluarga besar PKB. Disamping, tersebarnya para kader NU di berbagai partai, baik yang berasas Islam maupun nasionalis.
Hal yang sama, dalam proses pengusungan dan pemenangan pasangan calon, sangat sulit disatukan pada pasangan calon tertentu. Praktis, yang bisa disepakati di tengah menguatnya faksi politik kaum santri, tafsir politik khittah NU KH Achmad Shiddiq yang berlaku:
“NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana”
Maka dari itu, kapitalisasi pemilih menjadi satu kekuatan besar, secara ideologis dan sosiologis sangatlah sulit. Pemilih di Jember sangat “cair” saat ini. Tak ada tokoh sentral yang dominan dan determinan menentukan arah preferensi pemilih. Radius pengaruh dari pemilu ke pemilih kian mengecil. Bahkan terkadang, di level TPS, kalah dengan arus pragmatisme warga. Pemilih semakin otonom, dan variabel yang menentukan semakin beragam. Money politic dalam berbagai survey, justru dianggap wajar.