Oleh: Moch Eksan
Pendiri Eksan Institute dan Wakil Ketua Bidang Agama dan Masyarakat Adat DPW Partai NasDem Jawa Timur
PILKADA Jember 2020 ini, merupakan pilkada ke-2 bagi Partai NasDem. Di usia ke-9, NasDem Jember sudah 2 kali mengusung pasangan calon bupati dan wakil bupati. 2015, NasDem mengusung dr Hj Faida, MMR-Drs KH Abdul Muqit Arief dan 2020, Ir H Hendy Siswanto-KH M Balya Firjaun Barlaman.
Menariknya, NasDem selalu menjadi partai yang pertama kali memberikan rekomendasi. Dan, alhamdulillah kedua pasangan calon tersebut ditakdirkan sebagai pemenang.
Sesungguhnya kemenangan yang diraih oleh pasangan calon merupakan hasil kerja agregatif dari seluruh kekuatan, baik dari pasangan calon sendiri, koalisi partai, simpatisan, relawan, pendukung maupun pemilih.
Bagi NasDem, Pilkada Jember 2020 dapat dikatakan, “menang kakak, kalah kakak”. Sebab sejatinya, dr Faida dan Haji Hendy adalah “keluarga besar” NasDem. Dr Faida pernah tercatat sebagai fungsionaris DPW Partai NasDem Jawa Timur, dan drg Abdul Rochim, M.Kes, MMR suaminya, caleg DPR RI NasDem 2019 dengan perolehan suara nomer 2. Sementara, Haji Hendy sudah resmi berKTA NasDem.
Kendati begitu, seperti ajaran Surya Paloh, tatkala kader NasDem menjadi pejabat publik, maka NasDem mewakafkan mereka pada publik. Pun demikian, baik dr Faida maupun Haji Hendy, ia pemimpin seluruh rakyat Jember tanpa terkecuali.
Partai, pilkada, dan kemenangan sekadar sarana, bukan tujuan. Kesejahteraan rakyat merupakan tujuan sebagai manifestasi dari konsep walfare state yang dianut oleh negeri ini.
Oleh karena itu, Pidato Kemenangan Haji Hendy-Gus Firjaun, Rabu sore, 9 Desember 2020, sangatlah tepat. Bahwa, kemenanganya adalah “kemenangan rakyat Jember”, yang hak-haknya wajib segera dikembalikan.
Nampak sekali, visi pasangan birokrat-kyai dan pengusaha-politisi ini sangat restoratif, seperti politik gagasan Surya Paloh dalam membangun bangsa. Realisasi 7 program unggulan, mesti tergambar secara teknokratis dalam rancangan pembangunan dan anggaran daerah. Kerja-kerja teknokratis ini merupakan kelanjutan dari kerja-kerja politis pasca kemenangan, sehingga proses demokrasi bisa menghadirkan kesejahteraan rakyat.
Perlu diingat, kemenangan bukan untuk kemenangan. Tapi, kemenangan untuk kesejahteraan. Socrates mengkritik praktek demokrasi karena dalam dirinya mengandung cacat filosofi bawaan. Banyak orang yang terpilih dalam proses pemilihan, rendah kompetensinya, baik dari segi leadership, managerial, maupun tehnikal. Akibatnya, dalam menjalankan pemerintahan mengalami “gamang”, tak tahu jalan, terjebak agenda harian dan tanpa terobosan.