Oleh : Dr Joko Sriwidodo, SH MH MKn CLA
Lektor Kepala Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi(Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi mengesahkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021).
Namun Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tersebut belakangan ini justru kemudian menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Di satu sisi, peraturan itu mendapat dukungan publik karena menjawab keresahan publik terkait dengan maraknya praktik kekerasan seksual, khususnya dalam lingkup perguruan tinggi.
Namun di sisi lain, penolakan juga datang karena menganggap keberadaan Permendikbudristek justru seolah melegalkan perbuatan hubungan seksual di luar institusi pernikahan atau zina.
Khususnya, pasal 5 dalam Permendikbudristek tersebut. Sebagian kalangan menilai frasa dalam pasal 5 melegalkan perzinahan secara tidak langsung.
Adanya silang pendapat tentang Permendikbud tersebut adalah sinyal positif bahwa dialektika publik dalam merespons kebijakan tengah berjalan.
Harus diakui semangat dari pembentukan Permendikbudristek tersebut sejak awal adalah melidungi segenap sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi dari ancaman tindakan kekerasan seksual. Hal itu tercantum jelas dalam konsiderans Menimbang, terutama huruf (a) dan (b).
Mendikbudristek Nadiem Makarim membeberkan ada 4 tujuan utama Permendikbudsristek PPKS dibentuk.
Tujuan pertama, yakni upaya untuk memenuhi hak pendidikan setiap warga negara Indonesia atas pendidikan yang aman.
Kedua, dengan Permendikbudristek, Nadiem ingin memberikan kepastian hukun bagi pemimpin perguruan tinggi untuk bisa mengambil langkah tegas.
Ketiga, tujuan Permendikbusristek ini ingin memberikan edukasi tentang isu kekerasan seksual. Seperti, apa yang dimaksud kekerasan seksual, lingkup korbannya, hingga penjelasan victim blaming.
Keempat Permendikbudristek ini memperkuat kolaborasi antara pemerintah dengan dunia kampus dalam rangka menciptakan budaya akademik yang sehat sesuai dengan akhlak mulia.
Selain itu, Permendikbudristek ini juga dapat langsung diimplementasikan oleh perguruan tinggi karena sudah mencantumkan ketentuan dalam bidang pencegahan, penanganan, perlindungan, serta sanksi administratif.
Sehingga, korban bisa lebih berani dan merasa lebih aman sewaktu mengadukan kejadian tersebut kepada penyelenggara perguruan tinggi.
Namun yang menimbulkan banyak kontra atau penolakan adalah perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf j Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 yang memuat frasa ‘tanpa persetujuan korban’.
Isi Pasal 5 Permendikbudristek yang Menjadi Sorotan
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
d. menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
m. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
n. memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.
Ayat dalam Pasal ini mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dan persepsi dapat dibenarkan apabila ada ‘persetujuan korban.’
Dengan ‘persetujuan korban’ maka pihak manapun tidak dapat mempersoalkan termasuk orang tua korban. Bahkan dikhawatirkan menjadi legitimasi bagi pihak manapun yang ingin melakukan seks diluar pernikahan berbasis persetujuan.
Jika melihat niat dan tujuan dari Permendikbud ini sudah benar. Tinggal yang harus disempurnakan dan direvisi adalah bunyi redaksionalnya pasal 5 ayat 2. Frasa tentang “izin” atau persetujuan dari korban yang mengandung makna seks bebas atau”suka sama suka” seolah dibenarkan dalam peraturan tersebut. Redaksi inilah yang harus di hapus.
Berdasarkan argumentasi ini penulis menilai bahwa ketentuan dalam Permendikbudristek 30/2021 punya niat dan tujuan baik sebagai upaya melindungi setiap orang dari tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Hanya redaksionalnya di Pasal 5 ayat 2 huruf j yang menimbulkan multi tafsir dan pembenaran makna tentang seks bebas atas dasar persetujuan korban atau “suka sama suka”. Penegasan ini yang harus dielaborasi.
Agar di kemudian hari tidak dijadikan celah hukum atau alasan pembenar ketika muncul kejadian pelecehan seksual namun kemudian muncul persepsi atas dasar suka sama suka yang akhirnya pelaku kejahatan seks diluar nikah tak terjangkau oleh aturan ini.
Akhir kata, harapan penulis kepada pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi perlu solusi bijak untuk dijadikan pertimbangan menerbitkan sebuah aturan sebelum aturan tersebut terlanjur diberlakukan.
Saat merancang, membuat redaksional, mengkaji dan menganalisa sebuah aturan yang akan diberlakukan kepada publik, Kemendikbudristek sebaiknya melibatkan para ahli hukum agar dalam menyusun frasa ayat dan pasal dalam aturan bisa dipahami secara baik baik teks maupun konteksnya. (***)