Oleh : SS Budi Rahardjo
Penulis Adalah Ketua Umum Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI)
EDITOR, Jakarta,- Penulis mewakili Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) menyampaikan ucapan Selamat Hari Pers Nasional 2022. Meskipun organisasi pers lainnya masih kekeuh mengusulkan perubahan tanggal Hari Pers Nasional.
Organisasi Pers lain semacam AJI dan IJTI, tak ingin ultah pers dirayakan di 9 Februari. Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) mengucapkan selamat, bagi yang merayakan peringatan HPN 2022.
Kenapa organisasi lain, usul perubahan?
Karena mereka beralasan, peringatan HPN pada 9 Februari disebut merupakan tradisi sejak Orde Baru yang tak banyak perubahan setiap tahunnya.
HPN, berbarengan hari lahir PWI, Persatuan Wartawan Indonesia.
Kita semua tahu, PWI berdiri pada 9 Februari 1946 telah menjadi bagian dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Mereka orang-orang pergerakan yang kemudian jadi wartawan bersatu bentuk organisasi yang berlaku seluruh Indonesia.
Ini yang membuat organisasi lain, merasa HPN hanya pesta orang-orang PWI, sementara organisasi lain semacam IJTI dan AJI merasa anak tiri.
Pelaksanaan even HPN menurut organisasi AJI Aliansi Jurnalis Indodepen dan Ikatan Jurnalis Televisis Indonesia, secara substansi tidak memberikan kontribusi yang besar bagi kehidupan pers di Indonesia. Selain lebih banyak menghambur-hamburkan uang rakyat untuk acara seremonial yang megah.
Tidak ada kontribusi yang berarti bagi peningkatan mutu jurnalisme di Indonesia baik menyangkut kekebasan pers, perlindungan terhadap jurnalis, serta kesejahteraan pekerja pers itu sendiri.
Usul mereka, peringatan HPN adalah 23 September sesuai tanggal pengesahan UU Pers.
Ini adalah hari pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu 23 September, sebagai Hari Pers Nasional.
Usul lain, peringatan HPN didasarkan pada tanggal kelahiran Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional.
Apa Sikap AMDI Untuk Hari Pers?
AMDI (Asosiasi Media Digital Indonesia) sebagai Asosiasi Pemilik Media Digital, Forum Pimpinan Media Digital Indonesia bukan masuk dalam perubahan tanggal ulang tahun.
Tapi dalam rilisnya menyebut, kiranya, sahabat jurnalis, manajemen media bukan hanya sibuk sebatas keriaan tanpa refleksi diri.
Di era digital marketing, media massa harus bersaing memperebutkan kue iklan yang ?lari? ke media sosial, blogger dan Youtuber. Ini bisa disebut senjakala media massa, mau apa itu cetak, digital bahkan televisi.
Presiden Jokowi yang hadir secara virtual dalam Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 pada Rabu (9/2/2022).
Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) mengingatkan rekan pers dan konstituen Hari Pers Nasional (HPN) yang digelar di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Bahwa, ada yang lebih penting di saat ini, selain membuat Twibbon atau rangkaian kegiatan HPN 2022.
Masukan dari AMDI kepada jajaran anggota Dewan Pers periode 2022-2027 yang nanti terpilih, bisa lebih maju pemikirannya. Tak lagi sibuk berkutat mengurusi verifikasi setiap media massa yang ingin didata oleh Dewan Pers. Namun juga nasib media yang kini sulit meraih pendapatan karena bergabung algoritma. Sebuah pengakuan pendapatan bagi media online melalui iklan google ads atau ads-ads lainnya.
Dewan Pers mendatang perlu lebih proaktif mendata Pers berbadan hukum dengan penanggung jawab yang bekerja profesional atau hanya jurnalisme partisan.
Sejatinya, media dan tren teknologi sudah berlari meninggalkan hal-hal ?lawas? semacam itu. Dari 4.300 media online (siber), paling yang sudah diverifikasi 600-an saja. Bukan berarti, hanya jumlah itu yang disebut media profesional.
Media digital yang belum diverifikasi Dewan Pers, banyak yang menerapkan kode etik jurnalistik dengan baik. Mereka sudah layak disebut pers.
Terlepas, apakah aturan itu perlu diperbaharui atau tidak, sesungguhnya media cetak, radio dan televisi memasuki wajah baru.
Idealnya, tugas pers mengembangkan visi dan misi yang futuristik. Melampaui jaman kekinian, memang tak mudah. Bukan hanya tampilan dan model jurnalisme, cara bertahan mencari pemasukan untuk menyeimbangkan pengeluaran, yang terlanjur besar juga merupakan tantangan tersendiri.
Media massa melakukan strategi reposisi merek, distribusi, promosi termasuk sumber daya manusia yang disebut profesional.
Realitasnya, bisnis model media di revolusi teknologi, justru ter-disrupsi dalam pemasukan pendapatan.
Semua terjadi dengan kecepatan dan kompleksitas. Teknologi 4.0 telah mengubah manusia dalam mengkonsumsi media.
Jutaan berita dan informasi masuk ke medsos, menyebar dari satu grup ke grup media lain. Tim buzzer media, yang lebih menikmati untung saat ini.
Jurnalis media digital bukan pintar di dunia jurnalistik saja, tapi harus belajar dari ?misteri? SEO (Search Engine Optimization), kata kunci, hastag, dan lain-lain, agar tulisannya di-klik banyak orang.
Tulisan tersebut di posting ke grup-grup media sosial yang punya fans, banyak anggotanya. Pasalnya, ponsel pintar memberikan kenyamanan dalam melihat berita, serba gratis pula.
Di tengah banjir informasi, media massa mainstream (cetak) menjadi clearing house, tempat orang mengecek informasi benar.
Apa lacur, banyak pemasang iklan bisnis, malah mengalihkan belanja iklannya ke medsos, bukan ke media digital. Padahal selama ini Dewan Pers dan Insan Pers tak mengakui media sosial sebagai sebuah media atau produk jurnalistik. Namun fakta menunjukkan bukti publik lebih memilih media sosial sebagai media pemberi informasi yang cepat.
Padahal, media massa sudah woro-woro ikut memasuki konvergensi media.
Vlog hingga channel di TV digital dengan server pinjam atau titip ke Youtube, lebih diminati. Pemirsanya, kalau dengan tim buzzer bisa memiliki pemirsa hingga jutaan. Dimana ada Youtubers, yang satu miliar video views per harinya. Ada empat juta foto per jam yang diunggah di Instagram.
Facebook menyebutkan setidaknya ada tiga miliar likes & comment yang mereka dapatkan setiap harinya dan 15 juta foto yang di-upload per jam. Arus informasim mengalir sangat deras. Facebook malah panen iklan, demikian Google.
Sekarang, publik adalah media! Dan kita, adalah jurnalis.
Jurnalis kalah cepat dengan masyarakat, dalam meliput kejadian, banyak contohnya. Bahkan, sekedar media massa, untuk hidup bukan lagi menulis karya jurnalistik, tapi menulis primbon, ramalan bintang atau mengutip IG bintang ternama, untuk hemat ongkos.
Riset Visa bertajuk Consumer Payment Attitudes Study menyebutkan, orang Indonesia menghabiskan 6,4 jam sehari di smartphone atau 25%-an dalam keseharian mereka. Sekitar tiga jam hanya untuk urusan media sosial.
Bisa diartikan, masyarakat kita lebih sibuk dengan akun media sosial ketimbang menaruh perhatian pada media mainstream yang menawarkan trust dan kredibilitas.
Di era digital marketing, media massa harus bersaing memperebutkan kue iklan yang ?lari? ke media sosial, blogger dan Youtuber. Ini bisa disebut senjakala media massa digital.
Tidak salah jika saat ini sebagaimana Richard Edelman, CEO Edelman, menjelaskan bahwa: every organization is a media organization!
Era digital membuat semua bisa memiliki media sendiri, termasuk perusahaan. Cukup membuat website, mempekerjakan tiga-empat orang, membuat konten, dan mempublikasikannya. Bahkan, search engines dan social network bisa menjangkau audiens secara langsung. Sesuai target readers-nya.
Kita juga memasuki, era kecerdasan artifisial. Era Kecerdasan Artifisial, apa itu?
Kecerdasan buatan adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau bisa disebut juga intelegensi artifisial.
Artificial Intelligence atau hanya disingkat AI, didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Dalam teknologi AI, perancang atau yang membuat berita bisa saja dilakukan oleh mesin saat ini.
Jadi, di tahun-tahun mendatang, kita tidak lagi hanya bertanya apa yang benar atau hoax. Pertanyaan berikut, apakah informasi itu dihasilkan oleh manusia?
Karena bisa saja, berita itu yang membuat adalah mesin, dengan coding atau sari dari ragam medsos atau dicuplik dari media arus utama, tanpa klarifikasi jurnalistik.
Metafora jenis konvergensi antara dunia nyata dan dunia digital.
Eng-ing-eng. Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) pernah melakukan survei internal, terhadap para pemimpin media.
Hasilnya menunjukkan, bahwa yang dianggap ancaman, bukan lagi sesama media massa, tapi kekuatan platform semacam Google, Youtube atau Facebook yang menyedot potensi belanja iklan.
Di tengah banyak media massa kesulitan membayar kesejahteraan SDM-nya dengan layak, aplikasi digital memudahkan setiap orang memiliki media massa sendiri.
Perusahaan yang paling cerdas akan menggabungkan data dan algoritma dengan konten hebat.
Tak pelak, pers Indonesia, apapun platform-nya, mau tak mau harus berkolaborasi dengan Google, Twitter, atau Instagram, Facebook hingga memiliki tim buzzer di medsos.
AMDI berupaya terus mengedukasi anggotanya, dalam era digital sekarang ini. Inovasi mutlak bagi media arus utama agar bertahan.
Karena sesungguhnya, publik masih membutuhkan informasi dan konten bermutu.
Catatan hingga di HPN 2022 ini, Dewan Pers disebut belum kerja optimal dalam memverifikasi media digital.
Kiranya, sembilan nama anggota Dewan Pers periode 2022-2027, lebih inovatif dan punya terobosan. Salam erat. Asosiasi Media Digital Indonesia dan Forum Pimpinan Media Digital Indonesia, yang merupakan organisasi pemilik media digital di Indonesia. (**)