Sebagai pejuang dan penjaga adat Marapu, Mama Rato sudah beberapa kali dipanggil dialog ke berbagai forum, baik di tingkal lokal maupn nasional. Di forum-forum tersebut, mama Rato tampil sebagai narasumber atau memberikan testimoni.
“Berkali kali saya dialog dan bertanya dengan para pejabat negara dan pemimpin agama-agama. Mereka sering tidak bisa menjawab pertanyaan yang kami ajukan. Mereka juga menjanjikan berbagai kebijakan dan aturan yang membela kaum adat tapi prakteknya itu semua belum terlaksana dengan baik†Demikian mama Rato bersemangat.
“Kami tidak menuntut lebih dari bangsa ini, kami hanya mau hidup tentram dan damai, bisa menjalankan tradisi secara bebas tanpa dihambat dengan berbagai aturan birokrasi dan stigma negatif lainnya†Tandasnya dengan suara tajam dan tegas.
Apa yang diceritakan Mama Rato hanya secuil kisah terjadinya benturan antara adat dan sistem birokrasi negara. Hal seperti ini juga dialami oleh masyarakat Sunda Wiwitan dan komunitas adat lainnya. Eksisten dan hak-hak mereka sering terabaikan akibat benturan dengan sistem birokrasi yang ada. Jika terjadi hal seperti ini biasanya masyarakat adat mengalah, pastrah untuk tidak menerima hak-haknya sebagai warga negara demi menjaga dan menjalankan adat yang telah mereka yakini dan jalani. Misalnya saat penerimaan bantuan negara, mereka sering tidak kebagian karena tidak memiliki KTP atau dokumen lain yang dianggap sah. Padahal secara faktual, sosiologis-antropologis, mereka jelas-jelas warga negara Indonesia.
Melihat semangat perjuangan dan kegigihan Mama Rato dalam mempertahankan adat Marapu serta penguasaannya yang mendalam terhadap nilai-nilai, ajaran dan berbagai makna ada dalam ritual adat kami merasa beliau tidak sekedar juru bicara yang fasih dalam menjelaskan adat Marapu, tetapi juga seorang advokat tradisi yang andal dan gigih. Beliau adalah penjaga tradisi yang kokoh.
Hari mulai beranjak malam meninggalkan senja yang temaram, cuaca dingin mulai menerpa, namun suasana semakin hangat karena penjelasan mama Rato yang heroik. Dari sini aku belajar bagaimana seseorang bersikap menjaga eksistensi diri dan identitas kulturalnya.
Mama Rato telah menunjukkan pada kami sosok yang memiliki imunitas kultural (daya tahan kebudayaan) sehingga menolak berbagai “serangan†budaya dan ideologi lain yang datang untuk merusaknya. Dari mama Rato aku melihat sosok penjaga tradisi Marapu yang kokoh dan kuat (Bersambung).*****