Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia
Pengantar:
Tanggal 20 sd 24 November dan 28 Noveember s/d 1 Desember, penulis mengikuti anjangsana Pancasila yang diselenggarakan Oleh BPIP. Suatu program penggalian nilai-nilai kearifan untuk merumuskan strategi pembudayaan Pancasila. Kunjungan dilakukan di Sumba, Ende dan Bali. Tulisan berseri yang akan diturunkan diportal ini merupakan catatan perjalan anjangsa Pancasila tersebut.
PEREMPUAN tua itu menyambut kami, rombongan dari BPIP, di beranda rumah adat Marapu di kampung Tarung, Sumba Barat, NTT. Temaram senja dengan sisa-sisa sinar mentari yang hampir padam itu membuat suasana semakin syahdu.
Guratan-guratan di wajah perempuan itu seperti memandakan usia yang renta, perkiraan kami sudah di atas 70 tahun, tapi sorot mata yang tajam dan suara yang lantang dengan bahasa yang tegas dan diksi yang kuat menunjukkan bahwa perempuan ini adalah sosok yang cerdas, tangguh dan pemberani namunsarat dengan kearifan.
Dia adalah mama Rato, sering disebut juga Mama Lado, seorang Tetua adat Marapu. Meski usianya sudah tidak lagi muda namun memori dan pemikirannya masih kuat dan jernih. Dia bisa menjelaskan berbaga peristiwa masa lalu dan ajaran kepercayaan Marapu dengan tuntut dan jelas. Hampir seluruh pertanyaan kami bisa dijawab dengan runtut dan sistematis.
Kepada kami mama Rato menjelaskan, bahwa adat Kepercayaan Marapu tidak memiliki huruf dan kitab, dia hanya ajaran dan nilai yang dwariskan secara turun temurun melalui cerita tutur dan diekspresikan melalui laku hidup.
Meskipun tidak memiliki huruf, namun masyarakat Marapu memiliki kemampuan membaca alam dan kehidupan, membuat perhtungan cuaca bahkan memprediksi kehidupan yang akan terjadi.
Selain itu, asyarakat Marapu juga memiliki kemampuan mendiagnosis dan mengobati penyakit, membuat perhitungan dalam mendirikan bangunan, mengatur musim tanam.
Berbagai kemampuan ini diperoleh dari hasil dialektika dan pengamatan yang mendalam terhadap alama dan lingkungan. Selain itu, untuk meningkatkan kepekaan batiniah dalam berdialog dengan alam dan kenyataan, mereka juga melakukan berbagai laku spiritual.
Hasil pengamatan inderawi terhadap alam yang bersifat fisik dan empirik ini dicatat dalam memori kemudian dikonstruksi dalam suatu konsep pengetahuan yang kita kenal dengan kecerdasan lokal (local genius). Sedangkan laku spiritual yang menghasilkan kepekaan batin melahirkan kekuatan spiritual yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu yang kemudian dikenal dengan kebijakan lokal (local wisdom).