Menurut Okta, PSI cukup efektif menggunakan beragam medium sosialisasi selain media sosial. Meskipun tidak memiliki media massa dan bukan parpol utama pengusung capres-cawapres, PSI kerap tampil dengan isu-isu kontroversial. “Yang tidak kalah menarik adalah kerja-kerja sosialisasi oleh relawan dan pertemuan tatap muka,†ungkap Okta.
Meskipun relatif kecil, tetapi metode kampanye yang dilakukan dengan canvassing door-to-door dinilai efektif untuk mempengaruhi pemilih. Demikian pula dengan turun langsungnya caleg-caleg PSI menyapa pemilih di basis daerah pemilihan (dapil).
“Pemilih PSI menilai medium sosialiasi menentukan pilihan sebesar 24,0 persen dan tatap muka 16,0 persen,†kata Okta.
Faktor lain yang dinilai Okta cukup berpengaruh adalah pertimbangan memilih partai politik. Sosok figur atau tokoh partai masih menjadi acuan tertinggi, disusul rekam jejak partai, program atau gagasan yang ditawarkan, kedekatan personal dengan kader atau pengurus, dan faktor lainnya.
“Kemunculan Grace Natalie sebagai ketua umum PSI, dengan pidato dan isu-isu yang memancing perdebatan publik, tidak kalah dengan tokoh-tokoh parpol besar,†kata Okta.
PSI juga dinilai bersih, khususnya dalam hal tidak adanya caleg yang terindikasi korupsi. Selain itu, PSI dikenal dengan gagasan toleransi serta mengusung isu perempuan dan anak muda.
Survei CPCS dilakukan pada 1-10 Februari 2019, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Metode survei dilakukan secara acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. (tim)