Kelompok lain yang berjasa dalam membangun proses kreatif Bung Karno selama berada di pengasingan adalah para anggota dan pemain klub tonil Kelimutu, suatu kelompok sandiwara yang didirikan oleh Bung Karno di Ende.
Menurut paparan Peter Henri, jumlah anggota dan pemain klub tonil ini ada 47 orang, diantara adalah Joe Bara, Roslan Otto, Matheus dan Ibrahima, Darham dan Riwu. Para anggota klub ini terdiri dari rakyat biasa, ada nelayan, montir, pedagang dan petani. Mereka ini tidak saja beragam dari latar belakang sosial dan profesi, tetapi juga beragam keyakinan dan agama.
Para anggota klub tonil ini tidak sekedar menjadi pemaian sandiwara, tetapi merupakan komunitas yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan proses kreatif Bung Karno selama berada di pengasingan.
Permainan sandiwara tonil tidak sekedar pertunjukan hiburan, tetapi menjadi mata rantai yang tak terpisahkan dari gerakan sosial dan pemikiran Bung Karno dalam menggali Pancasila.
Paparan Peter Hendri Darosj ini menunjukkan pada kita betapa banyaknya kelompok masyarakat yang turut andil dalam proses penggalian Pancasila ini. Mulai rakyat jelata, para pastur yang notabenenya orang asing bahkan saudagar Tiong Hoa, memiliki peran besar dalam perenungan Pancasila yang dilakukan Soekarno
Di Ende Soekarno tidak hanya menjadi orang yang matang berpikir, tetapi juga orang yang kuat beragama. Melalui perjumpaan dengan berbagai kalangan masyarakat inilah spirit religiusitas Bung Karno menjadi semakin dalam, lapang dan kokoh. Di sini Bung Karno semakin memantapkan gagasannya bahwa dalam pemahaman dirinya sebagai seorang Muslim tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme.
Bahkan secara tegas Soekarno menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Nasionalisme yang luhur. Jika ada pandangan yang mempertentangkan Islam dan Nasionalisme maka terjadi kesalahan dalam menafsirkan Islam. Islam hanya bertentangan dengan nasionalisme ketika nasionalisme itu bersifat sempit, yaitu nasionalisme yang membuat satu bangsa membenci bangsa yang lain atau memecah belah (provinsialisme) (Henri Darosj Dkk, 2015;71).
Banyaknya jejak sejarah tentang andil kelompok masyarat dalam proses penggalian Pancasila di kota Ende, mengkorfirmasi pernyataan Soekarno:
“Di kota ini (Ende) kutemukan lima butir mutiara dan di bawah pohon sukun aku menemukannyaâ€
Penemuan lima mutiara ini terjadi karena Ende merupakan tempat pematangan diri dan pemikiran dengan cara memperluas pengetahuan dan memperdalam imannya terhadap Islam. Dan di sisi lain Bung Karno memperdalam dan memperluas pengetahuannya terhadap agama Kristen melalui pergaulannya dengan para Pastor.