Dalam kesempatan ini Peter Handri banyak mengungkap kisah menarik hubungan Bung Karno dan kedua pastor tersebut, mulai dari sisi intelektual, kemanusiaan sampai mistis.Diantaranya ramalan Pastor Huijtink bahwa Soekarno akan jadi presiden. Mengingat peran penting biara Sato Yusuf dalam kehidupan dirinya, saat menerima anugrah Doktor Honoris Causa Soekarno pernah menyebut diriya berhutang budi pada Santo Yosef Ende.
Selanjutnya, Peter Hendri menjelaskan peran para Pastor dalam mendukung gerakan kebudayaan Bung Karno. Dijelaskan, ketika Soekarno kebingungan untuk mencari tempat pementasan drama tonilnya, maka Pater Huijtink bersedia membantu Bung Karno dengan menyediakan gedung Immaculata yang merupakan gedung paroki katedral untuk tepat pentas.
Di tempat inilah seluruh naskah tonil Bung Karno yang berjumlah 13 naskah bisa dimainkan. Judul naskah-nasah tersebut adalah Dokter Setan, Rendo, Rahasia, Kelimutu, Jula Gubi,Kut Kubi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.
Para pastor ini tidak hanya meminjami gedung Immaculata menjadi tempat pentas tetapi juga menyediakan perlengkapan produksi lainnya, seperti kursi, listrik sampai cat untuk untuk mewarnai layar sandwara. Bahkan percetakan untuk mencetak tiket pertunjukan dicetak di percetakan Arnoldus, milik para pastor dan bruder Serikat Sabda Allah (SVD), satu-satunya percetakan yang ada di Ende dengan paralatan yang paling canggih pada saat itu.
Selain bercerita tentang hubungan para Pastor Biara Santo Yosef dengan Bung Karno dan perannya mendukung gerakan dan pemikiran Bung Karno, Pater Henri bercerita tentang peran seseorang maupun masyarakat dalam proses penggalin Pancasila di Ende.
Salah satunya adalah cerita Henri tentang seorang Tiong Hoa bernama Ang Hoo Lian. Dia adalah seorang pedagang yang selalu berlayar dari Surabaya-Ende. Melalui saudagar Cina inilah Soekarno berkomunkasi dengana teman-teman seperjuangannya di Jawa. Sekarno tidak pernah kirim surat melalui pos, terutama surat-surat yang sifatnya khusus karena khawatir disensor oleh pihak Belanda.
Untuk menghindari kecurigaan bihak Belanda, surat-surat itu dimasukkan ke dalam keranjang sayur.
“Di ende, surat-surat tersebut diserahkan kepada Sian Tik, pemilik toko De Leeuw untuk selanjutnya dibawa oleh Ang Hoo Lian. Di waktu sore Bung Karno sengaja datang bertamu ke toko tersebut untuk mengambil surat-surat dari para temannya di Jawa sekaligus mengantar surat yang telah ditulisnya utuk dikirim ke Jawa. Sering kali surat-surat tersebut diantar oleh orang Tiong Hoa tersebut ke rumah Bung Karno secara sembunyi-sembunyi†demikian penjelasan Peter Henri.