Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia
WAKTU sudah menunjukan jam 13.00 kami segera meninggalkan rumah pengasingan Bung Karno menuju Biara Santo Yosef Ende, tempat bersejarah yang memiliki peran penting dalam proses penggalian Pancasila.
Tiba di biara kami disambut hangat oleh Peter Henri Darosj, salah seorang pengelola Biara. bangunan biara ini berada di puncak bukit kecil dengan suasana yang teduh dan nyaman. Ada 45 tangga untuk bisa mencapai bangunan tersebut.
Di ujung tangga Peter Darosj menyapa kami dengan ramah, sambil berdiri dia menjelaskan bahwa dahulu Bung Karno selalu melawati tangga ini ketika mengunjungi Biara Santo Yosef. Dan biasanya di tempat ini pula Soekarno disambut para pastor yang menjadi sahabatnya.
Rombongan diajak keliling melihat beberapa tempat yang ada di kompleks biara yang sering ditempati Bung Karno, seperti serambi tempat Bung Karno duduk merenung memandang laut (sekarang tempat ini diberi nama Serambi Bung Karno. Di sini dibangun patung Bung Karno dalam keadaan duduk di kursi menghadap ke laut), ruang baca Bung Karno dengan beberapa koleksi buku yang sering di baca, ruangan tempat ngobrol dan berdiskusi dengan para pastor.
Setelah berkeliling melihat tempat bersejarah di Biara Santo Yosef, kami berkumpul di serambi untuk mendengarkan penjelasan Pater Henri Darosj. Banyak hal menarik dan data-data sejarah penting yang disebutkan oleh Peter Henri.
Beberapa hal menarik yang sempat penulis catat diantaranya penjelasan Pater Henri mengenai kedekatan Soekarno dengan para Pastor dan Bruder yang ada di Biara Santo Yosef Ende. Disini Bung Karno berkesempatan mengenal lebih dalam agama Katolik dan menggali nilai-nilai kemanusiaan dengan bertukarpikiran dengan para Pastor, terutama Pater Hujtink dan Pater Bouma.
Oleh kedua pastor ini Bung Karno diberi akses seluas-luasnya untuk membaca seluruh koleksi buku yang ada di perpstakaan Biara. Bisa dikatakan Bung Karno merupakan tamu tetap kedua pastor tersebut, sehingga menjadi sahabat akrab sampai akhir hayat.
Pertemuan Bung Karno dengan para Pastor di biara Santo Yosef merupakan pengobat dahaga intelektual Bung Karno selama berada di pengasingan.
Hari-hari pertama di pengasingan mengalami stress. Disebutkan Henri Darosj, Bung Karno mengibaratkan dirinya seperti seekor brung elang yang sudah terpotong sayapnya. Seekor burung perkasa yang kini tidak berdaya. Semangat yang luruh ini kembali bangkit ketika menemukan sumber pengetahuan dan teman bertukar pikiran di biara Santo Yusuf. Di tempat ini Soekarno membaca tiga buku Ensiklij yang berisi tentang peri kemanusiaan, kesetaraan dan buruh.