Jakarta, EDITOR.ID,- Sungguh memprihatinkan dan miris sekali. Sejarah media massa di Indonesia yang awalnya menjadi alat perjuangan dan kontrol sosial dari para wartawan idealis seperti Chairul Saleh, Sukarni Wikatna. Namun di era sekarang akan diarahkan untuk mengabdi kepada kaum kapitalis atau penguasa modal.
Artinya hanya pengusaha yang punya duit besar yang bisa memiliki media dan bisa mengatur manajemen dan isi media untuk kepentingan bisnis dan politiknya. Media yang dibangun para wartawan idealis yang modalnya kecil, makin ditekan dan dihimpit oleh konspirasi sejumlah pihak dengan “menjual” aturan dan ijin.
Salah satu konspirasi untuk “membunuh” kreativitas dan karya dari ekosistem idealisme wartawan yang mengelola media “UKM”, dengan melempar wacana untuk menciptakan aturan baru “Publisher Rights”.
Di aturan ini hak penerbit atau media yang memiliki banyak wartawan mewajibkan platform digital asing untuk bekerja sama dengan perusahaan media di Indonesia.
Wacana ini menjadi ramai dan dipastikan akan “membunuh” media-media kecil yang bermodalkan sebuah idealisme untuk menyampaikan informasi. Meskipun pemiliknya wartawan pensiunan media yang tak memiliki modal besar dan tak mampu menggaji wartawan dengan bayaran mahal.
Wacana Publisher Rights ini menjadi ramai karena terjadi “tarik menarik” konsep draft Peraturan Presiden (Perpres) soal Publisher Rights.
Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) meyakini Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak akan dengan mudah membubuhkan tanda tangannya jika draft Peraturan Presiden (Perpres) soal Publisher Rights itu tidak berpihak kepada “orang kecil. Dan hanya menguntungkan kaum pemodal besar dan kapitalis.
Karena Perpres tersebut berpotensi akan “menindas” media kecil dan punya misi akan membunuh media bermodalkan kecil untuk mati dengan segala aturan yang ujungnya media harus punya duit besar untuk terbit.
Karena itu patut diwaspadai jika draft Peraturan Presiden (Perpres) soal Publisher Rights yang tak punya payung hukum untuk mengatur ekosistem media tersebut, hanya untuk melegalisasi dan menguntungkan media yang terverifikasi di Dewan Pers.
Dan sangat disayangkan bagi media Pers yang belum terverifikasi di Dewan Pers padahal melakukan tugas jurnalistik dengan baik, melakukan check and richeck, tapi terkendala permodalan, tidak akan pernah mendapat dukungan. Tetap teguh menyampaikan informasi ditengah kepungan raksasa media yang didanai konglomerat.
Karena mereka hanya mementingkan eksistensi media yang dimodali konglomerat dengan uang banyak.