Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia
SETELAH beberapa hari mengunjungi Sumba dan Ende, NTT, selanjutnya Tim Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengunjungi Bali dengan missi yang sama yaitu menggali berbagai nilai dan laku hidup masyarakat yang bisa dijadikan acuan dalam merumuskan strategi pembudayaan Pancasila.
Seperti halnya saat di NTT tim dipimpin oleh Direktur Pembudayaan Pancasila, ibu Irene Camelyn Sinaga dengan anggota tim diantaranya, ibu Nia Syarifudin, Paul Hendro, Taufiq Rahzen, Zastrouw dan beberapa staf dari BPIP.
Untuk menggali informasi dan praktek hidup yang bisa menjadi contoh dalam pembudayaan Pancasila, tim melakukan kunjungan ke sanggar dan komunitas serta berdiskusi dengan para pelaku seni dan penggerak budaya.
Pada kesempatan ini kami mengunjungi sanggar Paripurna pimpinan Made Sidia, Taman Nusa dan berdiskusi dengan Ranu Dibal (penggerak seni budaya dari komunitas Kitapoleng), Made Sidia (pemimpin sanggar Paripurna), Gung Dhe (Pengggerak budaya dan seniman Bali) serta Yudha Bantono (penggiat Seni budaya dan penggagas berbagai festival di Bali)
Saat diskusi Yudha Bantono, sebagai pegiat seni budaya di Bali yang sudah puluhan kali merintis pelaksanaan festival dan menangani berbagai event kebudayaan, memaparkan bahwa festival merupakan cara yang efektif untuk mengali nilai-nilai dan menghidupkan kembali tradisi yang ada di masyarakat Bali.
Melalui festival, berbagai tradisi yang hampir mati kerena tidak memiliki ruang ekspresi akhirnya bisa bangkit dan hidup kembali. Selain itu, festifval juga memiliki dampak yang signifikan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Memang kadang terjadi tarik menarik antara kepentingan ekonomi dengan upaya menggali dan menghidupkan kebudayaan, namun hal ini bisa disinergikan secara kreatif.
Made Sidia, menjelaskan keberadaan sanggar Paripurna sebagai sarana merajut keberagaman dan membangun kebanggaan sebagai bangsa. Sanggar yang dirintis dan didirikan oleh Made Sidja, ayah Made Sidia, pada tahun 1990 ini sekarang memiliki 400 orang anggota dari berbagai usia dan profesi.
Sejak kepemimpinan di pegang Made Sidia, sanggar ini sudah menghasilkan berbagai karya seni kreatif dan inovatif yang ditampilkan di dalam maupun luar negeri. Beberapa kali mendapat pernghargaan tingkat internasional.
“Kami melakukan inovasi seni secara kreatif tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisional budaya Bali. Kami justru menjadikan nilai-nilai tradisional sebagai sumber inspirasi dan bahan yang bisa dikembangkan dalam konteks kekinian dan hal ini justru yang menarik masyarakat Internasional. Oleh karena itu sebenarnya kita harus bangga degan tradisi yang kita miliki†Kata Made Sidia semangat.