Mengenang Buya Syakur, Ulama Bersahaja Pengayom Umat dan Sahabat Dekat Gus Dur

Dalam Membangun Keberagaman dan Toleransi Antar Umat Beragama Buya Syakur Tetap Sunggingkan Bibir, Meski Banyak Kritik yang Mencibir

Almarhum Buya Syakur Yasin Foto Tangkapan Layar Kanal Youtube Wamimma TV

Dalam menyampaikan kajian Buya Syakur memiliki ciri khas seperti ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada umumnya, suara Buya Syakur tidak pernah meninggi, beliau menjelaskan aneka persoalan yang sebenarnya cukup rumit, namun beliau jelaskan dengan perlahan, jelas dan fokus.

Ciri khas NU lainnya adalah isi kajian Buya Syakur lebih mengutamakan kehidupan bermuamalah di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk.

Buya Syakur Sepanjang Hayat Digunakan Belajar Agama

Buya Syakur wafat dalam usia 75 tahun. Pada 2 Februari 2024 mendatang, usianya genap 76 tahun. Pendiri Pondok Pesantren Cadangpinggan ini lahir di Desa Tulungagung, Kecamatan Sukagumiwang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pada 2 Februari 1948 dari pasangan KH. Moh Yasin Ibrohim dan Nyai Hj. Zaenab.

Masa pendidikan Buya Syakur dari kecil hingga dewasa banyak dihabiskan di pondok pesantren. Beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Lamanya belajar di pondok pesantren, membuat Buya Syakur menjadi mahir dalam berbahasa Arab.

Pada tahun 1960, Buya kemudian diminta secara pribadi oleh KH. Sanusi, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, untuk tinggal di pesantren.KH. Sanusi adalah salah satu guru dari ayahanda Buya Syakur.

Selama kurang lebih 12 tahun, beliau secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Di sana Buya menamatkan MTS pada tahun 1963, PGA 1966 dan SPIAIN 1969.

Sesuai arahan ayahnya, beliau melanjutkan mengaji pada kiai Rumli di Tegalgubug untuk memperdalam ilmu mantiq dan balaghoh sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Hal ini kemudian yang membuat Buya Syakur menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.

Setelah selesai menempuh pendidikan di pondok pesantren Babakan Ciwaringin dan Tegalgubug, beliau melanjutkan pendidikannya menuju Timur Tengah melalui jalur beasiswa pada tahun 1971. Irak adalah negara pertama yang beliau tuju.

Selama di Irak, beliau bersama Muzammil Basyuni, Irfan Zidni, Kyai Masyhuri, Munzir Tamam. Pada tahun 1972, beliau melanjutkan pendidikanya di Syria kemudian diangkat menjadi ketua PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Syria.

Dalam menyelesaikan S1 nya, beliau menulis karya tentang Kritik Sastra Objektif Terhadap Karya-karya Yusuf As-Siba’i (Novelis Mesir).

Setelah menyelesaikan studi di Syria, beliau melanjutkan ke Lybia, belajar di Fakultas Sastra jurusan sastra Arab serta mendalami ilmu Alquran dari tahun 1977 sampai tahun 1979 dan selama belajar disana, beliau diangkat jadi ketua PPI Lybia.

Response (1)

  1. Innalilahi wa Innalilahi Ikut Berbela Sungkawa pada guru kami Buya Syakur. Semoga Khusnul Khotimah dan dipenuhi cahaya Allah di alam barzah. Karena Buya adalah guru yang telah mewariskan ilmu kebaikan kepada kami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: