Dalam situs resmi KPK, disebutkan ada tiga dasar hukum LHKPN. Pertama, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Kedua, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi.
Ketiga, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Masih menurut informasi di situs KPK, dinyatakan bahwa bagi Penyelenggara Negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, maka berdasarkan Pasal 20 undang-undang yang sama akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Jelas, karena sanksinya hanya administratif, maka sifat dari melawan hukum atas kewajiban menyetor LHKPN ini adalah “pelanggaranâ€, bukan kejahatan. Buwas berpegangan pada prinsip ini.
Tapi faktanya, sejauh ini belum pernah ada penyelanggara negara dikenakan sanksi oleh instansinya karena tidak menyetor LHKPN ke KPK.
Bahkan belum pernah ada pejabat yang ditindak KPK karena katahuan berbohong dalam pengisian LHKPN. Dengan fakta-fakta seperti itu, apa urgensinya KPK membikin aturan wajib setor LHKPN kepada KPK?
Memang, dalam dalam Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016, pasal 3 ada satu ketentuan mengatakan, “LHKPN yang telah diumumkan tidak dapat dijadikan dasar baik oleh penyelenggara negara maupun pihak mana pun juga untuk menyatakan bahwa Harta Kekayaan Penyelenggara Negara tidak terkait tindak pidanaâ€.
Dengan penafsiran bebas, artinya harta kekayaan yang diperoleh seorang sebelum dan sesudah menjadi penyelenggara negara bisa dirampas oleh negara dalam rangka pemulihan kerugian negara akibat korupsi (asset recovery).
KPK memang memiliki instrumen asset recovery. Hal ini diatur dalam pasal 18, UU No. 31 Tahun 1999 tentang UU Pidana Korupsi. Ketentuan ini memberi ruang kepada KPK untuk mengajukan tuntutan pidana tambahan berupa perampasan harta kekayaan dari hasil korupsi dan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Aturan ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Karena tidak saja bersifat ultimum remedium (penghukuman pamungkas), tapi sudah bablas menjadi penghukuman “balas dendam†karena motifnya mengarah kepada “pemiskinan koruptorâ€.
Masalahnya, bagaimana kalau si penyelenggara negara yang bersangkutan sudah kaya raya sebelum jadi pejabat, misalnya karena mendapat warisan atau menikah dengan orang kaya? Apakah harta bawaan tersebut bisa dirampas untuk negara?