Oleh : Atmaja Suhendra, S.Sos, Msi, Lm
Penulis adalah pengamat pendidikan, jurnalis dan dosen senior STIKOM Inter Studi
“Sebulan penghasilan saya sebagai guru honorer, lima ratus ribu rupiah,†ungkap Fajri Guru honorer di salah satu SD Negeri di kota Bandung, yang telah mengabdi sebagai guru honorer selama 15 tahun.
Wajahnya yang polos itu pun, tersenyum penuh arti. Buru-buru sang guru honorer itu melanjutkan, “Untungnya, tahun ini guru honor mendapatkan tunjangan dari pemerintah provinsi dan pemerintah kota, masing-masing 300 ribu rupiah dan 800 ribu rupiah,†dalam nada penuh syukur.
Ketika ditanya lebih lanjut, apakah honor itu bisa membuatnya hidup atau malah menghidupi keluarganya. Dengan spontan, jawabnya enteng. “Ya, cukup-cukupin aja, †masih dengan senyum penuh arti. Antara senyum getir dan bersyukur, bercampur.
Yang jelas, ungkapan Fadjri, guru honorer yang mengajar bidang studi lingkungan hidup, merupakan contoh nyata penghasilan guru honor di Indonesia. Dan ini realitas, bukan hoaks.
Mungkin, penghasilan guru honorer di setiap daerah tentu saja bisa berbeda. Bisa saja lebih tinggi atau bahkan lebih rendah.
SESUNGGUHNYA, harapan guru honorer adalah menjadi aparat pemerintah atau Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Sampai kapanpun, saya tetap akan menjadi guru karena saya mencintai pekerjaan sebagai guru,†tegas Fajri.
Menjadi trending topik, usulan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy agar guru honorer mendapatkan gaji minimal setara UMR, merupakan angin segar dan disambut baik.
Hal ini menjadi viral di antara seluruh tenaga pengajar. Mereka berharap, tak muluk-muluk. Hanya ingin semuanya wajar saja di era kekinian. Bahwa guru honorer juga bisa sejahtera dan mempunyai prospek lebih sejahtera.
Menjadi catatan selama ini, gaji guru honorer dari jenjang pendidikan SD hingga sekolah menengah (SMU) saat ini, jauh dari UMR (Upah Minimum Regional).
Namun sebelum aturan itu dibuat, Kementerian Pendidikan Kebudayaan seharusnya dan tentunya sudah memiliki perencanaan yang sangat matang, mengingat jumlah guru SD-SMU honorer di Indonesia jumlahnya mencapai jutaan, belum lagi jika sekolah swasta juga dilibatkan dalam penerapan UMR.
Tentu mengelola guru honorer yang jumlahnya besar ini, diharapkan tidak menimpulkan persoalan baru dan terjadi penyimpangan atau lahan korupsi baru, seperti diungkapkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.
“Anggaran pendidikan cukup besar. Kemudian, kalau terjadi penyimpangan kecil-kecil, tapi di wilayah sangat luas kalau dikumpulkan besar,†kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan,
UNTUK ITU, penulis berpendapat perlu adanya aturan yang tegas dan jelas atau regulasi berupa keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bahkan jika perlu Perpres terkait kebijakan meng-UMR kan gaji guru honorer.
Banyak pertanyaan yang bisa saja timbul dan harus dibuatkan formula penyelesaianya.
Misalnya, adalah terkait masa kerja guru. Apakah gaji guru honorer yang telah mengajar selama 15 tahun akan berbeda atau sama dengan gaji guru yang baru mengajar selama (1) satu tahun ? ini harus dicemati.
Pemberlakukan UMR, harus memiliki perencana yang matang dan akurat dan serta acuan yang jelas.
Bukannya apa-apa. Alih-alih ingin mensejahterakan guru, jika tidak dilakukan dengan skema yang baik, malah justru menjadi bumerang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan pemerintahan Jokowi, apalagi politik jelang pilpres semakin panas.
Kriteria dan persyaratan untuk menjadi guru yang bergaji berdasarkan UMR pun, harus terlebih dahulu di sosislisaikan agar semua guru mengetahui secara transparan dan akuntabel.
Jangan sampai perencanaan yang tidak matang justru akan menjadi gelombang unjukrasa besar, menuntut kenaikan UMR dan kesehteraan lainnya seperti halnya para buruh. Sehingga tidak tertangani.
Untuk itu, saya berpendapat perlu dibentuknya lembaga di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk secara khusus menangani dan mengawasi guru honorer yang akan mendapat gaji sesuai UMR.
Badan pengawas Guru Honorer (BPGH)
Kekhawatiran Menteri Keuangan, Sri Mulyani agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bisa memastikan anggaran pendidikan terserap optimal dan tepat sasaran. Ini merupakan hal yang wajar mengingat angggaran pendidikan yang cukup besar.
“Terutama untuk memastikan anggaran pendidikan itu termanfaatkan sesuai rencana, mencapai target, terlebih khusus lagi terutama dana transfer daerah yang jumlahnya di atas 63% dari total anggaran pendidikan. Itu lebih tepat sasaran lah,†kata Sri Mulyani usai bertemu dengan mendikbud.
Banyaknya instrumen pendidikan yang akan diserap ke daerah dengan anggaran yang besar merupakan pekerjaan tersediri bagi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Agar tidak terjadi tumpang tindih penggunaan angaran daeah dan anggaran guru honorer, diharapkan ada lembaga khusus yang mengatur dan mengurus keberlangsung guru honorer
Pembentukan Badan Pengawas Guru Honorer (BPGH) agaknya bisa menjadi solusi terbaik agar persoalan guru honorer bisa terselesaikan dengan cepat, akurat dan bertanggung jawab tanpa menimbulkan masalah baru dalam dunia pendidikan Indonesia. (***)