EDITOR.ID, Sumedang – Pegiat lingkungan hidup Kabupaten Sumedang menyatakan, banjir dan langsor bukan sekadar karena curah hujan tinggi, tetapi dampak dari penyalahgunaan aturan dan perizinan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Seperti hutan di hulu terus menyusut, atau DAS kritis karena beralih fungsi dengan beragam peruntukan.
Asep Riyadi, dewan penasehat Paguyuban Gelapnyawang Nusantara meminta pemerintah kabupaten Sumedang untuk bertanggung jawab atas kejadian bencana longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang yang menimbulkan tewasnya belasan jiwa, dan puluhan warga yang belum ditemukan serta lebih dari seribu jiwa yang masih berada di pengungsian.
“Sudah jauh-jauh hari kami mengajak dan mengingatkan kepada pemerintah kabupaten Sumedang untuk merehabilitasi lingkungan di kawasan kritis termasuk kawasan permukiman yang secara hukum dan tata ruang tidak layak dengan fungsi sebenarnya, minimal dengan mengajak menanam pohon,” ujar Kang Asep, saat ditemui di Sabusu Jatinangor, Rabu 13 Januari 2021.
Disinggung bagaimana latar belakang dan sejarah kawasan dilokasi bencana, Asep menerangkan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan rawan longsor, dimana sebenarnya sejak jaman Belanda kawasan tersebut adalah kawasan eks perkebunan dengan kontur lahan terbuka, berbukit-bukit, sebagian diselamatkan oleh negara dan dikelola oleh taman buru Kareumbi, sebagian dikelola oleh perhutani dan sebagian diakuisisi tanah adat.
“Akan tetapi seiring perkembangan jaman, saat ini tanah adat dimana sebelumnya adalah lahan terbuka, bahkan sempadan sungai, gunung dan perbukitan justru di buatkan melanggar kaidah-kaidah penataan ruang bahkan dipermudah dengan dibuatkan izin oleh pemerintah, sehingga yang terjadi saat ini yang dikorbankan tetap masyarakat,” jelasnya.
Ditegaskannya, perkembangan jaman mengorbankan aspek lingkungan, yang terpenting adalah tinggal bagaimana pemerintah mengawasi dan mengatur regulasinya, agar lingkungan dan pembangunannya seimbang.
“Akan tetapi Kondisi bencana saat ini justru pemerintahlah mengundang bencana itu terjadi, sebut saja adanya pembiaran bahkan justru memberikan kemudahan izin-izin yang dikeluarkan bahkan berindikasi adanya persekongkolan atas munculnya perizinan tersebut,” tegasnya.
Terkait lemahnya pengendalian tata ruang wilayah bersama pembangunannya. Asep menambahkan, alih fungsi hutan dan lahan di kabupaten Sumedang sampai saat ini masih berjalan masif, sehingga dampaknya adalah bencana.
“Tata ruang tidak datang dengan sendirinya, sudah pasti ada SOP nya, para stakeholder harus duduk bersama jangan sampai semua berlindung dibalik program berbasis masyarakat, tetapi justru menjerumuskan masyarakat. Ini sudah termasuk bentuk-bentuk kejahatan tata ruang. Oknum-oknum di pemerintahan kabupaten Sumedang sebagai pemberi izin harus bertanggung jawab dan diberikan sanksi sesuai aturan dan undang-undang penataan ruang, karena sudah menelan korban jiwa,” tukasnya.
Pasca bencana, Polda Jabar akan menyelidiki bencana tanah longsor di Dusun Bojong Kondang, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang.
Pasalnya, ada dugaan unsur kelalaian pengembang dalam membangun permukiman di kawasan rawan longsor tersebut.
Polisi akan mencari dan menyelidiki ada atau tidaknya perbuatan pidana di balik peristiwa itu.