Namun karena rasa tanggung jawab atas tugas yang harus dituntaskan sebagai Bapak Koperasi, yang dinobatkan padanya di tahun 1971 dalam Kongres Koperasi Indonesia di Bandung, maka pada bulan Juni 1979 Bung Hatta memaksakan diri memberikan pidato pada Kongres Asosiasi Sarjana Ekonomi Indonesia terkait pentingnya koperasi sebagai sokoguru ekonomi Indonesia.
Pada Kongres yang berlangsung di Bogor, Jawa Barat, didampingi oleh Ekonom Universitas Indonesia yang juga menantunya, Sri Edi Swasono, Bung Hatta menyampaikan pidatonya dengan kondisi yang kurang fit.
Bahkan Bung Hatta tidak menuntaskan membaca pidato yang telah disusunnya. Edi Swasono kemudian membacakan setengah dari teks pidato Bung Hatta yang belum disampaikan hingga akhir.
Pada tanggal 3 Maret 1980 untuk terakhir kalinya Bung Hatta meninggalkan rumah untuk menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pada 13 Maret 1980 kondisi fisik suami Rahmi Rachim itu kian merosot.
Keesokan harinya, Jumat 14 Maret 1980, pukul 18.56 WIB Bung Hatta menghembuskan nafas terakhirnya didampingi keluarga tercinta.
“Sesuai surat wasiat yang sempat dituliskan sebelumnya, Bung Hatta tidak menginginkan untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi di tempat pemakaman rakyat biasa jika suatu saat beliau meninggal dunia,” ungkap Meutia Hatta.
Jenazah Bung Hatta kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta, disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik.
Pengibaran bendera Merah Putih setengah tiang serentak dilakukan di segenap penjuru Negeri, sebagai penghormatan terakhir kepada Sang Proklamator, Mohammad Hatta yang dicintai segenap rakyat Indonesia. (tim)