EDITOR.ID, Jakarta,- Ditengah suasana bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-74, media sosial justru diramaikan dengan viralnya video pendek kutipan ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) yang dilakukan 3 tahun silam.
Dalam video tersebut, UAS menguraikan penjelasan akan sebuah pertanyaan tertulis. Akan tetapi penjelasan tersebut telah menyinggung simbol-simbol agama dan ke-Imanan umat Nasrani.
Ceramah UAS ini pun sontak mendapat kecaman dan kekecewaan sejumlah elemen masyarakat. Sebagai alim ulama UAS dinilai tidak mampu membawa diri dalam menjaga keberagaman, ukhuwah Wathoniyah dan persatuan bangsa Indonesia. Ceramah UAS dinilai tidak punya etika.
Salah satu yang mengecam ceramah UAS adalah Hendardi, Ketua SETARA Institute. Anggota Pansel KPK yang juga aktivis HAM ini menilai ceramah UAS telah menghina simbol agama umat lain.
“Ceramahnya yang menghina salib dan Yesus yang disalib merupakan tindakan yang merendahkan keyakinan orang lain dan mengganggu kerukunan antarumat beragama. Tetapi saya termasuk yang menentang penggunaan delik penodaan agama untuk menghakimi tindakan hukum semacam ini,” sebut Hendardi dalam keterangan tertulisnya yang dikirim Senin (19/8/2019)
Hendardi juga menyayangkan klarifikasi UAS yang menyebut ceramah tersebut internal di dalam masjid.
“Alasan dakwah internal tidak bisa dibenarkan karena makna “menyampaikan di muka umum” sebagai batasan larangan menghina dan merendahkan adalah kondisi dimana pernyataan itu disampaikan pada situasi yang memungkinkan orang lain dapat mendengar,” kata Hendardi.
“Jadi jelas apa yang disampaikan UAS memenuh unsur di muka umum,” sambung Hendardi.
Jika pun UAS dilaporkan dengan delik penodaan agama, saya mendorong agar proses teguran dan tuntutan minta maaf serta janji tidak mengulangi didahulukan untuk ditempuh, sebagaimana yang diatur dalam UU 1/1966 PNPS,” paparnya.
Sehingga, jika itu dipenuhi, maka tidak perlu diproses secara hukum.
Peristiwa ini merupakan pembelajaran bagi semua pihak untuk menikmati kebebasan berekspresi, berpendapat dan berbicara secara bertanggung jawab. “Tetapi saya juga tidak setuju segala pernyataan yang dianggap menyinggung perasaan kelompok selalu diselesaikan dengan pendekatan hukum, karena akan berpotensi memasung kebebasan,” katanya.
Kecaman juga datang dari DPD PDI Perjuangan DIY. “Perbedaan pemahaman teologi merupakan hal yang wajar, namun bukan alasan yang dibenarkan bila perbedaan tersebut untuk merendahkan dan melecehkan keyakinan yang berbeda,” demikian pernyataan sikap DPD PDI Perjuangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).