EDITOR.ID, Jakarta,- Dalam rangka Peringatan Gerakan Satu Oktober (Gestok), Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Pembumian Pancasila (DPP GPP) menyampaikan Maklumat Kebangsaan yang juga ditembuskan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Dengan maklumat tersebut, GPP mendorong pemerintah bersikap arif dan terbuka untuk menjelaskan apa yang sebenar-benarnya terjadi dalam peristiwa di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965.
Jika memang belum ada penjelasan yang dapat menerangkan dengan jernih tentang peristiwa tersebut, perlu segera diadakan suatu penelitian sejarah yang seksama, utuh, dan menyeluruh dengan menggunakan sumber-sumber yang ada dan sikap adil untuk merekonstruksi latar belakang, jalannya peristiwa, dan akibat dari peristiwa tersebut.
Menurut Ketua Umum DPP GPP Dr Anton Manurung, penjelasan yang jernih akan menghilangkan berbagai kontroversi yang selama ini muncul setiap tanggal 30 September dan mengungkapkan kebenaran sejarah dengan data dan fakta.
?Berbagai sumber membuktikan bahwa peristiwa terjadi dini hari, 1 Oktober 1965, bukan 30 September 1965. Dengan demikian, bila data dan fakta sejarah telah terungkap, maka sesungguhnya tidak ada peristiwa 30 September, melainkan 1 Oktober?, terangnya.
Pada maklumat yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dr Bondan Kanumoyoso, DPP GPP meminta agar dalam menyelesaikan trauma yang dihadapi oleh berbagai pihak yang menjadi korban peristiwa 1 Oktober 1965, sangat penting bagi pemerintah untuk segera menyusun dan mengesahkan kembali UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Keberadaan komisi ini menurut GPP dapat menjembatani proses dialog yang konstruktif diantara semua pihak yang terkena dampak dari apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dan berbagai peristiwa yang mengikutinya.
?Dari berbagai sumber data yang ada, para korban dari peristiwa tersebut bukan hanya para jenderal dan perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh pada tanggal 1 Oktober 1965, tetapi juga ?ratusan ribu bahkan jutaan orang anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya?, yang dibunuh pada akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966?, jelas Anton
Selain itu menurut GPP, tak terhitung begitu banyaknya korban yang terdampak sekalipun tak terlibat dalam peristiwa tersebut. Korban lainnya yang jarang disinggung tersebut adalah kaum Nasionalis-Marhaenis pengikut setia Sukarno yang oleh pemerintah rezim Soeharto dianggap sebagai potensi ancaman bagi legitimasi kekuasaan.Seyogyanya semua korban dan keluarganya itu akan mendapatkan keadilan dari negara melalui adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
GPP juga meminta penghapusan istilah Orde Lama sebagai penyebutan pemerintahan di bawah Presiden Sukarno. Karena pada kenyataannya pemerintahan Presiden Sukarno tidak pernah menyebut dirinya Orde Lama.
?Sebutan Orde Lama diberikan oleh pemerintahan rezim Soeharto untuk mendelegitimasi pemerintahan sebelumnya. Dalam kenyataannya rezim Soeharto berkuasa selama 32 (1966-1998) tahun yang jauh lebih lama dari pemerintahan Sukarno dalam sistem presidensial yang berlangsung selama 6 tahun (1959-1965)?, terangnya
Menurut GPP, penyebutan nama Orde Baru dan Orde Lama sungguh merupakan pelabelan yang tidak sesuai dengan fakta sejarah dan penuh dengan bias kepentingan politik. Istilah yang lebih tepat arif untuk menggantikan Orde Lama adalah Orde Revolusioner; selanjutnya istilah yang lebih tepat untuk menggantikan Orde Baru adalah Orde ?Penyelewengan Sejarah?.
?Sejumlah penyelewengan sejarah yang dapat diketahui, diantaranya: Sejarah Hari Lahir Pancasila, Hilangnya Surat Asli Surat Perintah Sebelas Maret, Skenario Film G30S/PKI, Konspirasi dengan Nekolim, Penetapan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang tidak relevan?, tegasnya.
GPP berpendapat bahwa Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober setiap tahun harus diklarifikasi sebagai manifestasi Pendidikan Moral Pancasila yang benar dan baik kepada seluruh masyarakat bangsa.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila bermula dari Surat Keputusan Menteri atau Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto pada 17 September 1966 (bukan oleh Sukarno, yang saat itu masih menjadi Presiden RI yang sah secara konstitusional).
?Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pertama kali dilakukan di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1966. Prosesi Hari Kesaktian Pancasila semasa rezim Soeharto, ada semacam ritual pengibaran bendera untuk memperingati peristiwa G30S dan Hari Kesaktian Pancasila. Pada 30 September, bendera dinaikkan setengah tiang. Esok harinya, atau 1 Oktober, bendera dinaikkan secara penuh?, jelasnya.
Perlu disadari bersama bahwa Gerakan 1 Oktober merupakan upaya perebutan kekuasaan oleh sekelompok orang berkonspirasi dengan Nekolim dan tidak ada hubungannya dengan kesaktian Pancasila. Aksi kudeta gagal karena kecerobohan pelakunya dalam merancang strategi militer dan menerapkannya di lapangan. Jadi benarlah yang dikatakan Sukarno dalam pidato Nawaksara bahwa peristiwa Gestok terjadi disebabkan 3 (tiga) hal : Pimpinan PKI yang keblinger, Subversi Nekolim dan Oknum yang Tidak Bertanggung Jawab.
Selain itu GPP juga meminta penghapusan segala bentuk deSukarnoisasi yang terjadi setelah peristiwa 1 Oktober 1965 yang hingga saat ini masih terdapat dalam buku-buku teks pelajaran sejarah siswa Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.
?Bentuk deSukarnoisasi itu antara lain adalah pengaburan peran Sukarno dalam berbagai momen penting pembentukan bangsa dan peran kuncinya sebagai penggali Pancasila. Para siswa dan generasi muda Indonesia berhak untuk mengetahui peran kesejarahan Sukarno dalam menyatukan bangsa Indonesia?, paparnya
GPP berharap seyogyanya, bila bangsa Indonesia bercermin dari sejarah yang benar, dapat diketahui bahwa Sukarno telah meninggalkan ?legacy? yang berharga dan bermakna untuk bangsa dan negara Indonesia.
Sejumlah julukan dan dedikasi yang dilekatkan pada Sukarno menjadi wujud ?legacy? dimaksud, diantaranya: Putra Sang Fajar, Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Marhaenisme, Penggali Pancasila, Founding Father, Proklamator, Presiden RI Pertama, Bapak Pandu Indonesia, Bapak Bangsa.
?Oleh karenanya, bila kita ingin menjadi sebuah bangsa yang besar, maka sudah selayaknya kita kembali ke ajaran dan pemikiran Sukarno. Untuk itu, kami mendesak agar dapat diterbitkan UU yang menyatakan bahwa Sukarno adalah BAPAK BANGSA?, pungkasnya.