EDITOR.ID, Bandung,- PENEGAKAN hukum itu tebang pilih. Dipilih, untuk ditebang. Ada juga yang dipilih untuk tidak ditebang.
Rumit dan membingungkan. Apakah karena para penegak hukum tidak tegas? Jawabannya, justru karena penegak hukum sangat tegas. Tegas untuk memilih sikap yang membuatnya kelihatan tidak tegas. Untuk melindungi kepentingan sesaat. Menutup mata dari kebenaran yang justru terbuka lebar di mata rakyat.
Permainan kata-kata di atas sepert pameo yang banyak didengar. Sebagai bagian dari bentuk “candaan” rakyat banyak. Karena seperti itu yang mereka lihat sering terjadi. Penegakan hukum seolah tidak untuk menciptakan tertib hukum. Untuk mengatur kehidupan masyarakat, agar ta’at hukum. Tapi dibiarkan begitu saja jadi komoditas yang gampang dijual. Dengan istilah yang semakin populer: wani piro?
Pengamat Sosial, Nasmay L. Anas mengatakan bahwa banyak teman yang mempertanyakan, kenapa putusan Peninjauan Kembali (PK) kasus Rohadi tidak kunjung dikeluarkan Mahkamah Agung (MA).
Rasanya sudah lama sekali. Sudah lebih dari empat bulan, usai persidangan terakhir dan berkas perkaranya konon sudah dilimpahkan ke MA.
Meski demikian, Rohadi tampak tabah. Dirinya yang pernah hendak bunuh diri saat ditahan di lantai 9 gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2016, karena stres menghadapi proses hukum di lembaga anti-rasuah itu, justru tampak tabah.
Dia tetap yakin, pada waktunya MA akan mengeluarkan putusan yang adil bagi dirinya. “Saya sabar saja. Tinggal tunggu waktu,” begitu katanya.
Hal itu bertolak belakang dengan apa yang sering dikeluhkannya. Ketika beberapa orang anggota Komisi III DPR RI datang berkunjung ke Lapas Sukamiskin, Bandung, beberapa waktu lalu, misalnya.
Terutama ketika dia berbincang dengan Ketua Rombongan Komisi III itu, Adies Kadir SH, Mhum. Yang sudah dia kenal cukup lama. Dan kepadanya dia sempat mengungkapkan uneg-unegnya.
“Soal upaya mencari keadilan yang dia rasakan begitu sulit.
Seperti sering dikemukakan Rohadi, dia sudah dijadikan tumbal sendirian dalam perkara suap pedangdut Saipul Jamil. Sebab, dirinya bukan siapa-siapa dalam kasus suap itu. Dirinya tidak lebih dan tidak kurang hanyalah sebagai penghubung,” jelasnya, Selasa (4/2).
Dalam banyak kesempatan lain, dia juga berulang kali mengeluhkan kondisi kehidupannya yang kian terpuruk. Sejumlah hartanya sudah habis disita. Karenanya, bahkan untuk mengajukan permohonan PK saja dia tidak mampu membayar pengacara. Sehingga permohonan PK itu dia ajukan tanpa didampingi pengacara.
“Keadilan seolah hanya milik mereka yang berkuasa dan berduit. Tidak untuk rakyat jelata yang teraniaya seperti saya,” begitu dia seringkali berucap.
Dalam konteks perkara Rohadi, harus diakui bahwa penegakan hukum terhadap dirinya telah menjadikan dirinya tersakiti. Telah membuat dirinya menderita lahir batin.
Karena keadilan yang dia cari selama ini masih belum juga dia dapatkan. Karena perasaan telah dijadikan tumbal belum juga hilang. Karena harapan untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum belum juga bisa dia gapai.
“Berkenaan dengan itu, belakangan ini berulang kali dia berharap bahwa harapan satu-satunya yang dia tunggu sekarang adalah kebijaksanaan dari para hakim MA. Yang akan memberikan kata putus bagi perkara PK-nya yang sudah berlangsung lebih dari empat bulan lalu. Dia mungkin tidak berharap lagi untuk dibandingkan dengan mantan Panitera PN Jakarta Selatan Tarmizi. Yang telah terbukti menerima suap dan telah menikmati hasil suapnya itu, tapi diganjar dengan hukum yang relatif ringan. Ketika mengajukan PK pun, dengan cepat dikabulkan dan MA menyunat hukumannya begitu rupa.
Sementara Rohadi, hanyalah seorang penghubung antara hakim yang mengadili perkara dan pengacara yang berupaya meminta keringanan hukuman untuk kliennya, melalui suap. Rohadi bahkan sama sekali tidak menikmati hasil suap itu.
“Tentu sangat tidak adil bila dia diganjar dengan hukuman tujuh tahun penjara,” paparnya.